Mohon tunggu...
Delvi Adri
Delvi Adri Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Idealis

27 April 2015   10:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:38 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Sirene polisi mendengung di mana-mana. Teriakan reformasi membakar keadaan yang semakin mencekam. Ribuan Polisi berjejer dibantu personil TNI dengan gagah menembak para demonstran secara membabi buta. Sesekali sempat terdengar desing peluru disambut teriak kesakitan dari arah demonstran. Dari kejauhan aku melihat sudah ada korban yang berjatuhan. Entah itu rekan-rekan dari mahasiswa, wartawan atau warga yang ikut bergabung dengan para mahasiswa. Atau mungkin para preman yang dibayar untuk memperburuk keadaan.


Suasana yang tadinya kondusif, seketika berubah menjadi neraka. Bau amis darah sangat jelas tercium sepanjang jalan. Hingga malam datang, akhirnya para demonstran berhasil dipukul mundur oleh aparat. Tapi itu belum berakhir, keesokan harinya kami kembali dengan massa yang lebih besar.” Begitulah kau menceritakan kejadian hari itu sembari merebahkan badan di bangku kesayanganmu, lalu menyeruput kopi hangat sambil menyaksikan pemberitaan di layar televisi.


Sering ku dapati kau pulang larut malam dengan luka memar di sekujur tubuhmu lengkap dengan baju sobek mirip pengemis yang selalu mangkal di perempatan jalan itu. Semula, aku menduga kau terlibat tawuran yang seperti sudah menjadi budaya di negeri ini. Mulai dari pelajar, warga, sampai pejabat, semua gemar tawuran. Bisa dilihat saat sidang paripurna, mereka dengan gagah unjuk kejantanan masing-masing. Bahkan ada juga yang sempat adu jotos. Seakan tidak mau kalah, para pelajar pun dengan gagah berkacak pinggang di jalanan, menunggu siapa nanti yang akan mereka tebas. Jika dipikir-pikir tidak ada bedanya demonstrasi yang sering kau lakukan dengan tawuran-tawuran yang hampir tiap hari kutemui di jalanan. Kadang aku teringat film kegemaranku yang menceritakan pertikaian suku-suku primitif di pedalaman. Saling bantai-membantai. Mungkin ini sudah menjadi budaya turun-temurun di negeri ini.


“Demo lagi?” tanyaku. Kau hanya diam, lalu beranjak ke kamarmu. Aku hanya bisa berdoa agar kau selamat setiap kau turun ke jalan, yang katamu untuk memperjuankan hak rakyat. Aku tahu idealisme dipikiranmu masih benar-benar murni. Pernah aku melarangmu. Lagi-lagi kau hanya diam. Esoknya kudapati lagi tubuhmu penuh luka memar.


Kita sering kali terlibat perdebatan hingga larut malam. Bahkan tak jarang kita  sanggup berjaga hingga fajar, sekedar membahas persoalan demonstrasi yang menjadi kegemaranmu. Tetapi, entah mengapa pagi itu aku ingin sekali memarahimu. Mungkin karena kecemasanku berlebihan padamu. Mungkin juga karena aku tak ingin kau mati konyol di jalanan.


“Apa yang kau harap dari aksi-aksimu itu?” bentakku.


“Kami memperjuangkan nasib rakyat yang dirampas pemerintah.” Jawabmu.


“Apakah dengan cara anarkis seperti itu?” Kau diam. lalu buru-buru pamit.


***

Aku sangat terpukul oleh peristiwa yang kau alami. Bau kematian yang menyengat mengisi tiap sudut kota. Mahasiswa, kelompok buruh, petani dan warga sipil lainnya turun ke jalan untuk memperjuangkan hak-hak yang telah dirampas oleh pemerintah. Aku terpukul oleh pemikiranmu yang ingin menyuarakan kegundahan-kegundahan, agar merdeka, agar terlepas dari penjajahan yang dilakukan oleh pemimpin bangsa ini.


Langit kota diselimuti asap sisa pembakaran ban-ban bekas serta ratusan kendaraan yang dibakar. Orang-orang dengan beringas seperti kesetanan membakar apa pun yang terparkir di jalan, membakar gedung-gedung milik pemerintah, merusak toko-toko dan menjarah isi-isinya. Yang lebih parah lagi, aku menyaksikan mayat perempuan setengah telanjang terbujur kaku di sudut pertokoan. Barangkali korban perkosaan orang-orang biadab yang memanfaatkan situasi. Lalu, apakah kau pikir nasib rakyat berubah setelah apa yang telah terjadi?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun