Mohon tunggu...
DELPI SUSANTI
DELPI SUSANTI Mohon Tunggu... Penulis - Riseacher of Doctoral Universitas Riau

Baca Diskusi Aksi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kisruh Perizinan Riau, Perlu Peninjauan Ulang

27 Desember 2022   13:04 Diperbarui: 27 Desember 2022   13:14 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pertama,  Pemerintah Kota Pekanbaru memiliki Peraturan Daerah  Nomor 5 tahun 2011 tentang Pajak Hiburan. Selanjutnya Pemerintah Daerah Riau memiliki Peraturan Gubernur Riau Nomor 53 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 4 dan Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha di Daerah, serta menjaga kualitas perizinan berusaha berbasis risiko dan nonperizinan yang dapat dipertanggungjawabkan secara cepat, mudah, terintegrasi, transparan, efisien, efektif, dan akuntabel (Riau 2021).

DPMPTSP sendiri dalam hal ini sudah langsung terintegrasi untuk mengolah data Perizinan dan Nonperizinan dari awal pendaftaran sampai dengan diterbitkannya izin secara elektronik sebagai pendukung dari sistem OSS (Riau 2021).  Maka, masyarakat juga harus tau bahwasanya Perizinan Berusaha legalitas yang di berikan kepada Pelaku Usaha adalah untuk menunjang kegiatan usaha. JP sendiri menggunakan sistem perizinan berbasis resiko, maka dengan adanya NIB yang dikeluarkan oleh Direktorat Jendral Administrasi Hukum Umum maka secara legalitas usaha JP sah.

Adanya pernyataan pemerintahan provinsi Riau melalui Kadis DPMPTSP terkait kasus usaha hiburan Joker Poker PUB dan KTV menyatakan bahwa usaha hiburan ini tidak boleh beroperasi kalau belum memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB) yang dikeluarkan oleh Pemerintah RI sesuai dengan perizinan berusaha berbasis risiko. Berarti apabila NIBnya keluar maka usaha hiburan ini dapat melanjutkan, jawaban ini secara epistemologi memang tidak menjadi persoalan ketika pemerintah mengambil tindakan-tindakan sesuai aturan yang berlaku.

Jawaban-jawaban normatif yang dilontarkan pemerintah sebagai pelaksana kebijakan memang tidak salah. Akan tetapi disitu jugalah muncul titik permasalahan yang besar dimata masyarakat yang beranggapan penyelenggara pemerintah saling melempar kesalahan dan melempar adu kewenangan. Pemerintah ditingkatan bawah berpersepsi bahwa yang bawa ya ngikuti yang diatasnya, kalau atas udah beri izin  ya kami yang di bawah beri izin. Skema jawaban seperti inilah yang membuat tipisnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

Padahal harusnya sebagai pimpinan atau OPD yang ada di jajaran pemerintahan daerah itu tidak lagi saling lempar batu sembunyi tangan, ketidak pahaman akan tusi (tugas fungsi) menjadikan birokrasi ini kaku dalam pelaksanaan implementasi kebijakan secara epistemologinya.

Sebenarnya, jikapun dilihat dan ditinjau dari aturan-aturan pelaksanaan perizinan ini tidak ada yang salah dalam sisi kebijakan. Namun pada lembaran lain, amanat dirjen AHU kepada DPMPTSP memiliki tim teknis yang bertugas sebagai Pertimbangan Teknis dan/atau Rekomendasi hasil pemeriksaan lapangan dan analisa/kajian teknis yang dilakukan Teknis terhadap objek sebagai dasar diterima atau ditolaknya perizinan usaha tersebut dan tim inipun ada tercantum pada PERGUB nomor 35 tahun 2021. 

Secara ontologi kebenarannya ada pada aturan aturan dasar, secara epistemologi pelaksanaanya cacat secara pemahaman, kalaulah pemahaman yang cacat secara aksiologi untuk masyarakat yang menerima dampak kebijakan so pasti tidak akan berfaedah kebaikan  meskipun tujuan pemerintah itu baik.

Kebijakan yang dihadirkan pemerintah tidak serta merta untuk disalah gunakan apalagi di salah artikan hanya saja musti ada tinjauan studi kelayakan yang menjadi patokan dan pedoman utama sehingga terdapat kesinambungan yang pas dan bisa berjalan lancar, baik disisi Pemerintah bersama Dinas Terkait, disisi Pengusaha, maupun sisi Masyarakat sebagai penerima dampak dari kebijakan itu, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan. 

Secara sistem operasional juga harusnya NIB AHU baru bisa keluar setelah syarat perinzinan di wilayah tempatan keluar jikapun memang harus disampaikan ke pusat. Akan tetapi jika tetap NIB yang keduluan keluar baru penyusulan syarat pemberkasan diwilayah tempatan maka ini lah yang akan menimbulkan ketidak sinambungan, tumpang tindih kekuasaan, al hasil bawahan karna takut atasan ya mengikuti saja, dan ini menurut saya jelas mencedrai otonomi daerah, terkhusus Riau.

MENDELEY REFERENCES

Dunn, William. 2013. Kebijakan Publik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun