Mohon tunggu...
Delfitria
Delfitria Mohon Tunggu... Penulis - Mental Health Enthusiast

Perempuan yang senang berbicara soal kewarasan manusia~

Selanjutnya

Tutup

Gadget

Mudahnya Menjemput Kebahagiaan dengan Migrasi Sinyal Digital

17 Agustus 2021   22:06 Diperbarui: 17 Agustus 2021   22:09 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kebahagiaan merupakan salah satu hal yang banyak dikejar oleh setiap orang. Para peneliti berlomba-lomba untuk mencari tahu ukuran apa yang paling valid dalam mengukur kebahagiaan tersebut. Apakah bahagia akan bergantung pada uang, jabatan, atau karir? Jangan-jangan, kebahagiaan bagi sebagian orang adalah ketika dirinya bisa terus merasa 'terhibur' di tengah masalah yang sedang dihadapi. Kebahagiaan bisa lahir dari cara seseorang memaknai kondisinya saat ini. Pertanyaannya adalah bagaimana perasaan terhibur bisa kita tumbuhkan agar bisa bahagia?

Laporan United Nations World's Happiness Country (UNWHC) tahun 2021 memberikan kabar bahagia untuk negara-negara di dunia. UNWHC mengukur kebahagiaan di suatu negara melalui 10 indikator. Salah satu indikator yang diukur merupakan rata-rata perasaan positif yang dirasakan individu menurut Gallup World Poll (GWP). GWP mengukur kebahagiaan, tawa, dan kepuasaan batin. Pertanyaan yang ditanyakan seperti ini, "Apakah kemarin kamu merasakan perasaan berikut (bahagia, tawa, dan kepuasaan batin) seharian penuh?" Pertanyaan fundamental tersebut dijawab dengan 'Ya' atau 'Tidak'.

Jika dibedah berdasarkan indikator perasaan positif tersebut, Indonesia menduduki peringkat kedua tertinggi negara dengan tingkat rata-rata perasaan positif di dunia. Ketika Indonesia ditanya, "Apakah kamu merasa bahagia seharian penuh di hari kemarin?" jawaban yang diberikan lebih banyak menunjukan persetujuan "Ya, bahagia." Peringkat Indonesia tersebut justru akan membawa kita pada pertanyaan lainnya, apa yang bikin Indonesia memiliki perasaan positif yang tinggi? Indonesia bukan negara maju yang bisa beli apa saja untuk kebahagiaan masyarakatnya. Orang-orang di dalamnya bahkan mengusahakan sendiri kehidupannya masing-masing.

Pertanyaan tersebut dijawab oleh Badan Pusat Statistik (BPS) secara komprehensif. BPS mengeluarkan hasil perhitungan Indeks Kebahagiaan Masyarakat Indonesia tahun 2017 yang naik dari tahun sebelumnya menjadi sebesar 70,69 dari skala 100.  Semakin mendekati angka 100 artinya semakin memiliki kepuasan hidup, perasaan positif dan hidup yang bermakna. Jika indikator kebahagiaan tersebut dibedah lebih lanjut, kita akan menemukan 'keharmonisan keluarga' sebagai hasil tertinggi penyumbang angka kebahagiaan, yaitu sebesar 80,05 dari skala 100. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana keharmonisan keluarga Indonesia bisa dibangun?

Keharmonisan sebuah keluarga akan bergantung pada perilaku yang dilakukan setiap anggota keluarganya. Keluarga dengan jumlah waktu bersama (time spent) yang banyak mampu memperbaiki komunikasi keluarga dan menjauhi anak-anaknya dari perilaku yang tidak diinginkan (Elijah, 2012). Keluarga juga diminta untuk memanfaatkan waktu yang sedikit di akhir pekan dengan berbagai cara demi keharmonisan satu sama lain.

Setiap keluarga berbeda cara dalam menghabiskan waktu bersama. Cara yang paling mudah dipakai oleh orang Indonesia adalah menonton televisi bersama di ruang tengah. Ayah hanya perlu menentukan jadwal berkumpul, kemudian menyetel televisi dan saling berkomunikasi sesuai tontonan saat itu. Ibu hanya perlu memanggil anaknya ketika bertemu dengan sinetron terbaru. Kebiasaan ini didukung oleh data bahwa orang Indonesia menghabiskan waktu untuk menonton televisi lebih lama daripada waktu melakukan video streaming melalui internet (Katadata, 2021). Siaran televisi masih menjadi primadona bagi aktifitas menghabiskan waktu dalam keluarga.  

Siaran TV seperti berita, sinetron, drama, reality show hingga kartun anak-anak yang masih diminati ternyata dibersamai dengan tingginya tingkat perasaan bahagia, tawa, dan kepuasan batin yang dimiliki keluarga Indonesia. Kalau kita ingat Opera Van Java (OVJ) pernah menjadi acara pelepas penat hampir bagi seluruh keluarga Indonesia setiap malam. Saat ini mungkin sinetron 'Ikatan Cinta' yang menjadi kebahagiaan tersendiri bagi para Ibu dan anaknya. Coba bayangkan jika perilaku menonton televisi ini tidak didukung dengan infrastruktur yang baik seperti sinyal, jaringan, perangkat elektronik, tentu saja akan mengganggu kebahagiaan yang seharusnya lahir dari menonton televisi.

Sama halnya dengan masyarakat di pedesaan. Televisi menjadi sumber informasi dan hiburan meskipun dengan siaran yang terbatas. Memang tangkapan sinyal di desa tidak sebaik dan selengkap tangkapan di kota. Belum semua daerah memiliki sinyal analog yang dapat tertangkap oleh antena. Keadaan tersebut tidak mengurangi keinginan keluarga di desa untuk menonton. Lagi-lagi, siaran televisi menjadi hiburan utama bagi siapa saja. Hanya saja butuh pembaruan infrastruktur yang lebih baik bagi sinyal siaran di desa agar para masyarakatnya bisa mendapatkan informasi yang jernih dengan sumber siaran yang banyak.

Kebutuhan itu bersambut bak sebuah pepatah, 'pucuk dicinta ulam pun tiba'. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) bertekad untuk memperbarui infrastruktur sinyal televisi yang lebih baik untuk dirasakan masyarakat Indonesia menjadi sinyal digital. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, kebijakan untuk migrasi sinyal digital telah memiliki landasan hukum yang kuat. Sinyal digital pada siaran televisi akan menggantikan sinyal analog sehingga memberikan hasil tangkapan layar yang lebih bersih, suara yang lebih jernih dan jangkauan yang luas bagi keluarga Indonesi secara bertahap. Kebahagiaan kita bisa lengkap jika infrastruktur ini dapat terimplementasi dengan baik.

Kehadiran sinyal digital yang lebih canggih dari sinyal analog secara infrastruktur akan mempermudah lembaga penyiaran untuk menyebarkan programnya bahkan ke daerah-daerah terpencil. Jika sebelumnya keluarga di desa hanya bisa melihat stasiun TV nasional, maka dengan sinyal digital bisa menangkap stasiun TV lainnya dengan lebih jernih. Akhirnya, banyak informasi yang tersalurkan dengan baik bagi warga desa serta hiburan yang menyenangkan di televisi untuk disaksikan setelah waktu bekerja seharian yang berat. 

Siaran sinyal digital bukan perihal jenis TV yang kita miliki melainkan perubahan tangkapan sinyal antena dari siaran analog ke siaran digital. Jika di keluarga hanya memiliki TV yang menangkap sinyal analog, maka perlu dibelikan Set Top Box (STB). Kita tidak perlu membeli Televisi baru!

STB merupakan alat yang akan membantu antenna mendapatkan sinyal digital. Pemerintah akan membantu keluarga Indonesia untuk memiliki STB yang bisa digunakan dalam migrasi sinyal digital tersebut. Setelah STB tersambung dengan televisi dan antena UHF, kita hanya perlu melakukan auto scan untuk memindai program-program siaran televisi digital yang tertangkap di wilayah rumah. Sinyal digital langsung dapat kamu rasakan di TV yang biasanya hanya menangkap sinyal analog.

Sesungguhnya kebijakan migrasi sinyal digital sudah dilakukan oleh banyak negara bahkan negara-negara terdekat di Indonesia yang dikenal dengan kebijakan Analog Switch Off (ASO). Indonesia membutuhkan poses migrasi yang cepat sehingga pembangunan infrastruktur penyiaran dapat berkembang pesat. Sinyal analog yang sudah dipakai sejak 60 tahun yang lalu memang berhasil mengantarkan kebahagiaan bagi banyak keluarga Indonesia. Coba bayangkan ketika perilaku menonton televisi yang melahirkan kebahagiaan keluarga ini difasilitasi dengan jangkauan yang lebih luas dan jernih! Bisa dipastikan akan banyak kebahagiaan lainnya yang hadir berkat fasilitas ini. Pada akhirnya, setiap keluarga mampu menjemput kebahagiaannya melalui migrasi sinyal digital dengan mudah sebelum November 2022!  

Referensi:

Badan Pusat Statistik. (2012). Indeks Kebahagiaan Indonesia Tahun 2017. Diakses melalui https://www.bps.go.id/pressrelease/2017/08/15/1312/indeks-kebahagiaan-indonesia-tahun-2017-sebesar-70-69-pada-skala-0-100.html

Helliwell, John F., Richard Layard, Jeffrey Sachs, and Jan-Emmanuel De Neve, eds. 2021. World Happiness Report 2021. New York: Sustainable Development Solutions Network

Kata Data. (2021). Masyarakat Asia Tenggara Menonton TV Lebih Lama dari Streaming Video. Diakses melalui https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/03/31/masyarakat-asia-tenggara-menonton-tv-lebih-lama-dari-streaming-video

Elijah. (2012). Impact of Time Spent in Parents-Children Communication on Children Misconduct. American Journal of Applied Sciences, 9(11), 1818-1823. doi:10.3844/ajassp.2012.1818.1823

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun