Jika menelusuri sepanjang jalan Mangkubumi di Yogyakarta hingga jembatan Kerkweg (biasa disebut jembatan Kewek) sampai dengan tanggal 15 Desember 2015 mendatang, mata kita akan dimanjakan oleh karya 35 perupa yang berpartisipasi dalam Jogja Street Sculpture Project 2015. Salah satu karya yang cukup ‘menggelikan’ adalah karya milik Khusna Hardiyanto yang berjudul Tanda Untuk Tanda. Karya tersebut berupa papan rambu lalu lintas yang berisi peringatan ‘tikungan tajam ke kiri’, diletakkan di luar ruang (beberapa meter sebelum tikungan stasiun tugu) dengan dimensi 170 x 80 x 30 cm dan dibuat dengan material alumunium, scotlet, cat & besi.
Memaknai Sebuah Tanda
Tanda menurut Peirce ialah sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain/representatif. Ernst Cassirer (1944) menyebut manusia sebagai animal simbolicum (dalam Herusatoto, 2000: 9; Daeng, 2000: 80) maka, yang membedakan manusia dengan hewan adalah pemahamannya akan tanda. Setiap tanda menuntut untuk dipahami dan diinterpretasikan, hanya manusia lah makhluk yang mengenal budaya tanda yang dihasilkan manusia lainnya.
Tanda dapat dimaknai sebagai tanda hanya apabila ia berfungsi sebagai tanda. Rambu-rambu yang terbelah dapat dikaitkan juga dengan aspek budaya Yogyakarta yang tidak dapat lepas dari filosofi Gunung Merapi dan Kraton. Kota Yogyakarta terbelah oleh sumbu imajiner yang menghubungkan Laut Kidul, Parangkusumo, Panggung Krapyak, Kraton, Tugu Pal Putih, dan Gunung Merapi. Potongan lurus secara vertikal menggambarkan planologi kota Yogyakarta yang membujur dari utara hingga selatan yang sering dimaknai sebagai hubungan timbal balik, maka begitu pula dengan rambu-rambu lalu lintas, timbal balik antara makna tanda dengan pengguna jalan seharusnya dapat berjalan secara berkesinambungan.
Warna pada papan rambu lalu lintas memiliki berbagai makna, dilansir dari halaman web Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika (http://dinhubkominfo.purbalinggakab.go.id/) terdapat enam macam rambu-rambu lalu lintas, dua di antaranya adalah rambu berwarna merah sebagai larangan, dan rambu berwarna kuning sebagai peringatan yang berisi indikasi bahwa kemungkinan terdapat bahaya beberapa meter kemudian. Pada dasarnya, warna kuning merupakan warna yang menarik perhatian.
Terlebih lagi, rambu-rambu lalu lintas terbuat dari material retro-reflektif, yaitu bahan yang dapat terlihat dengan baik di saat siang, malam maupun hujan, ironis jika kita hubungkan dengan statistik yang ditulis oleh tribunjogja.com, bahwa dari tanggal 10 Juli 2015 hingga tanggal 21 Juli 2015 terdapat 587 kasus pelanggaran lalu lintas pada Operasi Ketupat Progo 2015. Dengan begitu, nampaknya perencanaan dan pemasangan rambu lalu lintas yang diupayakan sedemikian belum dapat dimaksimalkan, karena meskipun warna yang dipilih adalah warna yang dianggap paling mudah mendapat perhatian pengguna jalan, kenyataannya tidak semua pengguna jalan menyadari keberadaan rambu-rambu tersebut. “Penjelasan mengenai fenomena psikologis dan fisik tidak selalu mudah – dan memang tidak penting. Dalam diri manusia, terdapat banyak hal aneh dan misteri yang tidak dapat dijelaskan berkaitan dengan warna.” (Birren, 2010 : 199).
Berangkat dari konsep sang seniman: “Semakin banyak pengendara di jalan, maka semakin banyak pula yang tidak mematuhi peraturan lalu lintas, perhatian pengendara pada tanda semakin berkurang, sehingga saya ingin menarik perhatian para pengendara dengan merusak tanda tersebut, sehingga mereka akan lebih memperhatikan tanda berikutnya.”
Pemilihan posisi rambu-rambu di dekat pot menggambarkan fungsi rambu-rambu di pinggir jalan kini tidak beda dari pepohonan di sekitarnya; hanya menjadi hiasan yang dilihat sambil lalu. Jika diamati, terbelahnya papan tersebut menjadi segitiga sama kaki menciptakan negative space yang membentuk segitiga baru. Ketiga segitiga tersebut dapat diasosiasikan sebagai tiga kategori masyarakat di Yogyakarta: Warga, Pemerintah, Kraton. yang menggambarkan bahwa pemerintah memberi jarak antara warga dengan Kraton.
Terpotongnya logo dishub diartikan secara positif dengan memposisikan dishub sebagai simbol jalan atau tanah, tanah atau jalan yang terbelah menuntut seseorang untuk melompatinya, dan untuk menghasilkan lompatan yang panjang, seseorang harus mengambil ancang-ancang dengan berlari kencang dan mempersiapkan tumpuan kaki ketika sedang melompat. Lompatan yang sama pun sedang diupayakan oleh dishub, Sekretaris Daerah DI. Yogyakarta, Drs. Ichsanuri, dalam Rapat Koordinasi Teknis (RAKORNIS) Bidang Perhubungan Darat Seluruh Indonesia pada tanggal 14 Oktober 2014 menyampaikan paparan tentang kondisi transportasi yang ada di Yogyakarta mengenai keterbatasan sarana dan prasarana karena wilayah yang tidak luas dan berbanding terbalik dengan jumlah kendaraan diharapkan nantinya semua problem penggunaan jalan dapat ditemukan solusinya. Terpotongnya logo dishub juga dapat dimaknai sebagai kritik terhadap dishub yang dinilai belum sanggup mengurai kemacetan sehingga permasalahan kepadatan jalan raya ini dianggap menguntungkan mafia iklan luar ruang: semakin padat jalan raya, maka semakin panjang waktu masyarakat yang akan diterpa iklan luar ruang.
Sekilas memang tidak ada yang berbeda dari papan rambu lalu lintas peringatan pada umumnya; sebuah papan rambu lalu lintas yang berbentuk belah ketupat dengan warna dasar kuning dengan outline berwarna hitam dan bentuk panah penunjuk arah ke kiri berwarna hitam dan logo Dishub di bagian bawah papan. Namun emphasis dihadirkan seniman melalui terpotongnya papan rambu tersebut secara vertikal sehingga papan rambu terbelah menjadi dua bagian sama rata dan kehadirannya yang mau tidak mau ‘mengusik’ mata para pengguna jalan di daerah tersebut, karya instalasi yang tersamarkan ini menimbulkan pertanyaan di benak pengguna jalan seperti: “Mengapa rambu-rambu ini patah?”, “Apa yang menyebabkan rambu-rambu ini patah?”, ”Siapa yang mematahkan rambu-rambu ini?”. Pemilihan untuk menjaga potongan kiri tetap tegak sedangkan potongan kanan seakan terbuang pun menjadi pertanyaan, adakah kaitannya dengan akses menuju jalan Malioboro dari jalan Mangkubumi yang terpaksa belok kiri untuk memutar daripada lurus memotong rel kereta api.
Potongan tanda panah ke kiri ini juga berkaitan dengan permasalahan minimnya ruang publik di kota Yogyakarta yaitu bagaimana Malioboro sebagai ruang publik utama yang kini hanya menjadi ruang publik semu (ruang publik sejati harus bersifat demokratis artinya dapat dimanfaatkan oleh semua masyarakat, termasuk pendatang, tanpa memandang perbedaan sosial, ekonomi, etnis, gender atau usia, dan dapat dijangkau oleh siapa saja termasuk mereka yang memiliki keterbatasan fisik. Ruang publik harus memberikan makna dengan mendorong terciptanya kesatuan antara lingkungan, ruang dan manusia. http://www.kompasiana.com/wardhanahendra/malioboro-dan-ruang-publik-semu-di-kota-yogyakarta_560b7c862523bdcb07268831). Pemerintah kerap menyarankan agar beberapa kegiatan dan acara budaya dipindah ke tempat lain, untuk mengurangi kepadatan Malioboro sedangkan ruang publik di kota Yogyakarta sendiri dinilai belum mampu mewadahi aktivitas warga secara maksimal.
Kesimpulan
Karya ini merupakan hasil dari pengamatan dan kegelisahan seorang seniman terhadap padatnya ruang kota yang tidak diimbangi dengan pembangunan ruang publik serta pemahaman para pengguna jalan terhadap tanda-tanda di sekitarnya, maka ia membantu sebuah tanda untuk berteriak di tengah bisingnya lalu lintas perkotaan.
Daftar Pustaka
Birren, Faber. 2010. “Color Psychology and Color Theraphy : A Factual Study of the Influence of Color on Human Life”. Whitefish. Kessinger Publishing L.L.C.
Daeng, Hans J. 2000. “MANUSIA, KEBUDAYAAN DAN LINGKUNGAN: Tinjauan Antropologis”. Pustaka pelajar. Yogyakarta.
Sholikhin, Muhammad. 2009. “Kanjeng Ratu Kidul dalam perspektif Islam Jawa”. Buku Kita. Jakarta.
Tautan
http://dinhubkominfo.purbalinggakab.go.id
http://hubkominfo.slemankab.go.id/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H