Mohon tunggu...
Dellana Arievta
Dellana Arievta Mohon Tunggu... -

www.dellanaarievta.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tanda-tanda Tanda

18 November 2015   14:38 Diperbarui: 18 Desember 2015   11:58 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu kriteria rambu yang efektif adalah rambu tersebut dapat menarik perhatian dan mendapat respek pengguna jalan, maka dari itu untuk memenuhi kebutuhan tersebut terdapat beberapa pertimbangan dalam perencanaan dan pemasangan rambu, salah satunya adalah keseragaman. Keseragaman rambu lalu lintas seringkali mengakibatkan jarangnya mendapatkan perhatian pengguna jalan karena jumlahnya yang banyak dan bentuk yang begitu-begitu saja (teori Pavlovian). Melalui karya ini, seolah sebuah papan rambu lalu lintas sedang berteriak untuk menarik kembali perhatian pengguna jalan atas keseragaman visual rambu-rambu lalu lintas dari padatnya visual di jalan raya yang kerap kali justru luput dari perhatian publik.

Terpotongnya logo dishub diartikan secara positif dengan memposisikan dishub sebagai simbol jalan atau tanah, tanah atau jalan yang terbelah menuntut seseorang untuk melompatinya, dan untuk menghasilkan lompatan yang panjang, seseorang harus mengambil ancang-ancang dengan berlari kencang dan mempersiapkan tumpuan kaki ketika sedang melompat. Lompatan yang sama pun sedang diupayakan oleh dishub, Sekretaris Daerah DI. Yogyakarta, Drs. Ichsanuri, dalam Rapat Koordinasi Teknis (RAKORNIS) Bidang Perhubungan Darat Seluruh Indonesia pada tanggal 14 Oktober 2014 menyampaikan paparan tentang kondisi transportasi yang ada di Yogyakarta mengenai keterbatasan sarana dan prasarana karena wilayah yang tidak luas dan berbanding terbalik dengan jumlah kendaraan diharapkan nantinya semua problem penggunaan jalan dapat ditemukan solusinya. Terpotongnya logo dishub juga dapat dimaknai sebagai kritik terhadap dishub yang dinilai belum sanggup mengurai kemacetan sehingga permasalahan kepadatan jalan raya ini dianggap menguntungkan mafia iklan luar ruang: semakin padat jalan raya, maka semakin panjang waktu masyarakat yang akan diterpa iklan luar ruang. 

Sekilas memang tidak ada yang berbeda dari papan rambu lalu lintas peringatan pada umumnya; sebuah papan rambu lalu lintas yang berbentuk belah ketupat dengan warna dasar kuning dengan outline berwarna hitam dan bentuk panah penunjuk arah ke kiri berwarna hitam dan logo Dishub di bagian bawah papan. Namun emphasis dihadirkan seniman melalui terpotongnya papan rambu tersebut secara vertikal sehingga papan rambu terbelah menjadi dua bagian sama rata dan kehadirannya yang mau tidak mau ‘mengusik’ mata para pengguna jalan di daerah tersebut, karya instalasi yang tersamarkan ini menimbulkan pertanyaan di benak pengguna jalan seperti: “Mengapa rambu-rambu ini patah?”, “Apa yang menyebabkan rambu-rambu ini patah?”, ”Siapa yang mematahkan rambu-rambu ini?”. Pemilihan untuk menjaga potongan kiri tetap tegak sedangkan potongan kanan seakan terbuang pun menjadi pertanyaan, adakah kaitannya dengan akses menuju jalan Malioboro dari jalan Mangkubumi yang terpaksa belok kiri untuk memutar daripada lurus memotong rel kereta api.

Potongan tanda panah ke kiri ini juga berkaitan dengan permasalahan minimnya ruang publik di kota Yogyakarta yaitu bagaimana Malioboro sebagai ruang publik utama yang kini hanya menjadi ruang publik semu (ruang publik sejati harus bersifat demokratis artinya dapat dimanfaatkan oleh semua masyarakat, termasuk pendatang, tanpa memandang perbedaan sosial, ekonomi, etnis, gender atau usia, dan dapat dijangkau oleh siapa saja termasuk mereka yang memiliki keterbatasan fisik. Ruang publik harus memberikan makna dengan mendorong terciptanya kesatuan antara lingkungan, ruang dan manusia. http://www.kompasiana.com/wardhanahendra/malioboro-dan-ruang-publik-semu-di-kota-yogyakarta_560b7c862523bdcb07268831). Pemerintah kerap menyarankan agar beberapa kegiatan dan acara budaya dipindah ke tempat lain, untuk mengurangi kepadatan Malioboro sedangkan ruang publik di kota Yogyakarta sendiri dinilai belum mampu mewadahi aktivitas warga secara maksimal.

 

Kesimpulan

Karya ini merupakan hasil dari pengamatan dan kegelisahan seorang seniman terhadap padatnya ruang kota yang tidak diimbangi dengan pembangunan ruang publik serta pemahaman para pengguna jalan terhadap tanda-tanda di sekitarnya, maka ia membantu sebuah tanda untuk berteriak di tengah bisingnya lalu lintas perkotaan.

 

Daftar Pustaka

Birren, Faber. 2010. “Color Psychology and Color Theraphy : A Factual Study of the Influence of    Color on Human Life”. Whitefish. Kessinger Publishing L.L.C.

Daeng, Hans J. 2000. “MANUSIA, KEBUDAYAAN DAN LINGKUNGAN: Tinjauan     Antropologis”. Pustaka pelajar. Yogyakarta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun