Raden Wijaya mendirikan kerajaan di hutan yang dipenuhi dengan buah Maja yang pahit, maka kerajaan tersebut diberi nama Majapahit. Pendirian Majapahit tersebut merupakan pemberian wilayah kekuasaan dari Jayakatwang. Pemberian wilayah tersebut dilakukan setelah berhasilnya penaklukkan Kerajaan Singhasari yang kemudian ditaklukan oleh Kerajaan Kediri.
Kerajaan Majapahit kemudian berkembang pesat sebagai kerajaan terlama dalam periode klasik Hindu-Buddha. Majapahit menjelma sebagai kerajaan terbesar yang luas wilayahnya hampir mencakup wilayah Asia Tenggara. Kerajaan Majapahit berdiri pada tahun 1293 dan runtuh pada tahun 1527. Kekuasaan Majapahit pada saat itu menjadi simbol-simbol negara Indonesia nantinya.
Kerajaan Majapahit mencapai puncak kejayaannya pada masa kepemimpinan Hayam Wuruk (1350-1389). Kejayaannya tersebut tergambarkan dengan sistem pemerintahan yang baik pada masa itu. Pada saat dipimpin oleh Hayam Wuruk, Kerajaan Majapahit bertekad untuk menyatukan seluruh wilayah Nusantara menjadi satu dibawah kekuasaan Majapahit. Bersama dengan Patih Gadjah Mada, Hayam Wuruk berhasil menaklukkan raja-raja daerah untuk dijadikan raja bawahan. Tekadnya untuk menyatukan seluruh wilayah Nusantara tersebut merupakan bentuk perwujudan dari Sumpah Amukti Palapa pada saat Gadjah Mada mengucapkan sumpah tersebut dihadapan Ratu Tribhuwana Tunggadewi, orangtua dari Hayam Wuruk.
Namun, ada satu wilayah yang sulit ditaklukan oleh Majapahit. Wilayah tersebut bernama Kerajaan Sunda. Kesulitan untuk menaklukkan Sunda tersebut disebabkan beberapa hal, leluhur Majapahit merupakan masih kerabat dekat dengan pendiri Majapahit pada saat itu, Raden Wijaya. Hubungan kekerabatan tersebut menjadikan Kerajaan Sunda sulit dijadikan sebagai musuh. Lalu, medan wilayah di daerah Kerajaan Sunda sangat sulit dilalui mengingat wilayah di Kerajaan Sunda terdiri dari pegunungan-pegunungan yang menjulang tinggi. Atas dasar Sumpah Amukti Palapa yang sudah diucapkan oleh Gadjah Mada, maka diambilah momentum kedatangan Putri Sunda ke Majapahit adalah sebagai simbol penyerahan kekuasaan kepada Majapahit. Peristiwa tersebut dinamai sebagai Perang Bubat.
Cerita Perang Bubat dari Carita Parahyangan, Kidung Sunda, dan Pararaton
- Carita Parahyangan
Naskah Carita Parahyangan adalah sebuah naskah tradisional sunda yang menceritakan perkembangan kehidupan Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda pada zamannya. Naskah ini disusun pada akhir abad ke-16, naskah ini menceritakan tentang urutan kronologis dari raja-raja yang memerintah mulai dari raja pertama Wretikandayun hingga raja terakhir Nu Sia Mulya. Pada naskah ini dikisahkan suatu peperangan yang terjadi antara Kerajaan Sunda dengan Kerajaan Majapahit. Dalam naskah Carita Parahyangan, peperangan tersebut disebut sebagai perang di Majapahit. Para peneliti menafsirkan perang di Majapahit merupakan sebutan Perang Bubat. Hal tersebut tertuang pada Pasal XIII yang diterjamahkan oleh Atja, berbunyi "Berputra Prabu Maharaja, menjadi raja selama tujuh tahun, karena terkena perbuatan khianat, mendapat bencana oleh putrinya bernama Tohan. Ia menginginkan mas kawin yang besar. Itulah sebabnya banyak orang pergi ke Jawa. Tidak mau bersuami di Sunda. Maka terjadilah perang di Majapahit". Prabu Maharaja yang tertuang pada pasal tersebut merupakan raja yang gugur dalam perang, Prabu Maharaja Linggabuana. Sedangkan putri yang dimaksud ialah Putri Dyah Pitaloka. Dalam naskah tersebut diceritakan bahwa perang tersebut terjadi pada bulan Badrapada tahun 1279 Saka pada hari Anggara-Wage (sekitar 29 Agustus 1357). Raja dan putri Kerajaan Sunda dikubur dengan upacara kerajaan oleh Raja Hayam Wuruk. Naskah ini ditulis pada daun lontar dengan tulisan aksara Sunda dan berbahasa Sunda Kuno. Naskah tersebut ditemukan di daerah Galuh (Ciamis) dan sudah tersimpen di Perpustakaan Nasional Jakarta.
- Kidung Sunda
Pada naskah Kidung Sunda terceritakan lebih jelas bagaimana Perang Bubat terjadi. Naskah ini ditulis dalam bahasa Jawa yang berbentuk tembang. Awal mulanya, Hayam Wuruk ingin mencari permaisuri dari kerajaan-kerajaan ternama, putri-putri yang direkomendasikan tidak dapat menarik hati sang raja. Kemudian, Raja Kahuripan dan Daha menerangkan bahwa ada satu putri yang cantik dan jelita di wilayah Kerajaan Sunda. Hayam Wuruk kemudian menyuruh pelayannya untuk mengutus melukis wajah putri dari Kerajaan Sunda, Dyah Pitaloka. Singkat cerita, Hayam Wuruk tertarik pada Dyah Pitaloka dan menyatakan perasaannya kepada Raja Kahuripan dan Daha yang berbunyi "yang ditanyai menyembah, Hamba sudah berketetapan hati tentang gambaran sang putri jelita, yang menjadi permata angan-anganku, yang menyusup dalam hati, apabila ada yang menghalang-halangi, ia akan menjadi musuhku, lawanku berperang, apabila aku mati, ia pun mati menemaniku". Mendengar pernyataan tersebut, sang Patih Gadjah Mada rupanya tidak setuju dengan pernyataan tersebut dan memberi saran untuk dipertemukan di Bubat sebagai tanda serius. Hayam Wuruk kemudian memerintahkan utusannya ke Kerajaan Sunda untuk menjalin pernikahan antar kedua kerajaan. Berita ketidakmauan raja Majapahit untuk datang ke Bubat sampai terdengar oleh Prabu Maharaja Linggabuana. Raja Sunda kemudian mengutus Patih Anepaken untuk berdialog mengenai kedatangannya. Kedua patih dari kerajaan masing-masing saling berseteru hingga akhirnya terjadi peperangan. Peperangan tersebut diatur strateginya oleh Gadjah Mada. Gadjah Mada mengira bahwa pasukan Sunda akan takut untuk pergi berperang, sebagai jalan tengahnya Gadjah Mada menawarkan kedatangan Putri Dyah Pitaloka sebagai bentuk tanda takluk kepada Raja Majapahit. Penawaran tersebut ditolak mentah-mentah oleh Prabu Maharaja Linggabuana dan lebih memilih untuk berperang mempertahankan martabatnya hingga tewas. Pasukan Sunda akhirnya kalah dengan rajanya yang gugur. Gugurnya raja dan para ksatrianya tersebut diikuti oleh para putri dan permasuri ksatria dengan cara bunuh diri sebagai bentuk penolakan untuk tunduk pada Raja Majapahit. Pasukan Majapahit pun sama mengalami kematian yang cukup masif. Kejadian tersebut disesali oleh Hayam Wuruk, Jasad Raja Sunda beserta Putrinya diperabukan pada sebuah upacara keagamaan dan kerajaan sebagai bentuk penyesalan Hayam Wuruk. Naskah Kidung Sunda merupakan karangan yang dapat mengilustrasikan bagaimana Perang Bubat terjadi, namun naskah ini tidak dapat dijadikan sumber sejarah.
- Pararaton
Pada naskah ini disebutkan juga terjadinya peristiwa Perang Bubat dengan penyebutan Patih Gadjah Mada sebagai peran yang menyebar maut. Naskah ini ditulis dalam bahasa Jawa Kawi yang berisikan singkat. Gambaran mengenai Perang Bubat ini diceritakan bahwa akhirnya Gadjah Mada menikmati hasil pengabdiannya terhadap negara setelah peristiwa Perang Bubat terjadi. Di medan perang, Gadjah Mada digambarkan sebagai penyebar maut yang telah membunuh pasukan Kerajaan Sunda. Setelah berakhirnya Perang Bubat, Gadjah Mada pergi meninggalkan Majapahit hingga akhir hayatnya. Sebuah tulisan dalam bahasa Jawa Kawi yang mengambarkan Perang Bubat tertuang pada tulisan yang berbunyi, "Mangidul wong Sunda, rusak wong Majapahit. Kang anangkis sanjata amapulihaken, ... katitihan wong Sunda, anempuh mangidul mangulon anuju nggonira Gajah Mada, sing tekareping padati wong Sunda mati, kadi sagara getih gunung wangke, bhrasta wong Sunda, tan hana kari, ... Samangka sira Gajah Mada mukti palapa. Sawelas tahun amungkubhumi ..." (Orang Sunda pergi ke arah selatan, orang Majapahit kalah. Yang melawan mengangkat senjata dan memenangkan kembali ... orang Sunda terdesak, menyerang ke arah barat daya menuju tempat Gajah Mada, orang Sunda yang datang di depan keretanya, mati seperti lautan darah dan gunung mayat, orang Sunda hancur, tak ada yang tertinggal, ... Maka Gajah Mada menikmati hasilnya. Sebelas tahun ia menjadi mahapatih ... Sang Patih Gajah Mada meninggal, ... Tiga tahun tidak ada yang menggantinya menjadi patih).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H