-menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat;
-mengganggu ketertiban umum;
-mengancam untuk melakukan kekerasan atau menganjurkan penggunaan kekerasan kepada seseorang, sekelompok anggota masyarakat, dan/atau peserta pemilu yang lain;
-merusak dan/atau menghilangkan alat peraga kampanye peserta pemilu;
-menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan;
-membawa atau menggunakan tanda gambar dan/atau atribut selain dari tanda gambar dan/atau atribut peserta pemilu yang bersangkutan; dan menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye pemilu.
Dalam pasal tersebut, larangan black campaign dalam pemilu tercermin di dalam larangan untuk menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat. Termasuk pula apabila terdapat unsur penghinaan terhadap seseorang, SARA, dan/atau peserta pemilu lain.
      Sementara itu, di dalam Pasal 69 huruf c UU 8/2015 dan penjelasannya, secara tegas disebutkan bahwa kampanye hitam atau black campaign adalah melakukan kampanye berupa menghasut, memfitnah, mengadu domba partai politik, perseorangan, dan/atau kelompok masyarakat.
      Ancaman Pidana Buzzer yang Melakukan Pelaku Black Campaign
Secara umum, apakah buzzer melanggar hukum? Tindakan buzzer yang menyebarkan hoaks, mencemarkan nama baik, menyebarkan informasi yang menimbulkan permusuhan berbasis sara, ataupun membuat akun palsu merupakan suatu tindak pidana sebagaimana dijelaskan secara lengkap dalam artikel Buzzer Bisa Dijerat UU ITE, Ini Penjelasannya.
      Adapun, khusus dalam konteks buzzer politik dalam kerangka kampanye pemilu, berdasarkan Pasal 521 UU Pemilu dijelaskan bahwa setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim kampanye pemilu yang dengan sengaja melanggar larangan pelaksanaan kampanye pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (1) UU Pemilu dipidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp24 juta.