Mohon tunggu...
Della Angelica
Della Angelica Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

seorang mahasiswi hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Keabsahan Perkawinan Beda Agama Menurut Majelis Agama Tingkat Pusat

9 Juni 2023   10:27 Diperbarui: 9 Juni 2023   10:31 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia merupakan negara yang memberikan hak kebebasan bagi warga negaranya untuk memilih kepercayaan  dan juga pasamgan hidupnya. namun seringkali terjadi warga negara Indonesia mendapatkan pasangan yang berbeda keyakinan dan masih bertanya-tanya dapatkan mereka melangsungkan perkawinan beda agama di Indonesia. Dalam Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam Ayat (1) nya dinyatakan bahwa setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah dan dalam Ayat (2) nya dinyatakan bahwa perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon istri yang bersagkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.negara memberikan kepastian hukum bagi kedua calon mempelai beda agama untuk dapat melangsungkan perkawinannya melalui permohonan penetapan Pengadilan Negeri walaupun sebagaian besar masyarakat Indonesia yang memiliki pemahaman yang sangat mendalam tentang agama dan aliran kepercayaan, mereka menolak nikah beda agama. 

Walaupun dalam undang-undang perkawinan tidak memberikan peluang untuk nikah beda agama dan Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia membatasi kebebasan dalam memilih pasangan beda agama untuk menikah. Kedua Undang-Undang tersebut sangat berbeda dengan Undang-Undang tentang Adminsitrasi Kependudukan yang memberikan peluang untuk pasangan nikah beda agama untuk dapat melangsungkan pernikahannya dengan cara mengajukan permohonan kepengadilan. 

pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 berlaku pula bagi perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan. Yang dimaksud Pengadilan pada Pasal 35 huruf (a) adalah perkawinan berbeda agama. Perkawinan beda agama di Indonesia sebagai negara yang beragama tidak lagi dapat dihindarkan karena pada kenyataanya manusia sebagai makhluk sosial yang selalu berinteraksi dan timbul perasaan cinta diantara mereka.

Berdasarkan Hukum positif di Indonesia yang telah memberikan payung hukum mengenai perkawinan yang terwujud dalam eksistensi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah jelas mengatur bahwa :

"Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu."

aktor beda agama tidak lagi dimasukkan dalam aturan perkawinan campuran berdasarkan Undang-Undang Perkawinan. Melainkan perkawinan campuran yaitu perkawinan yang terjadi antara WNI dengan WNA.

Berbanding terbalik dengan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, beberapa Pasal dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam justru berani membuat gebrakan baru untuk mengatur persoalan perkawinan beda agama, yaitu :
1.    Pasal 4
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat ( 1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
2.    Pasal 40 huruf c
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu :
a.    karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain;
b.    seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;
c.    seorang wanita yang tidak beragama islam.
Pasal ini bertalian erat dengan Pasal 18 yang mengatur :
Bagi calon suami dan calon isteri yang akan melangsungkan pernikahan tidak terdapat halangan perkawinan sebagaimana diatur dalam bab VI.
3.    Pasal 44 :
Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.
4.    Pasal 61 :
Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama atau ikhtilaafu al dien.
Pasal 61 merupakan tindakan pencegahan perkawinan yang diajukan sebelum terjadi perkawinan, sehingga pasal ini tidak mempunyai konsekuensi hukum bagi sah tidaknya perkawinan karena belum terjadi akad nikah. Pencegahan diajukan kepada Pengadilan Agama dalam daerah hukum tempat perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan kepada PPN setempat.
5.    Pasal 116 huruf h :
Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
 peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.

Sedangkan menurut Majelis Ulama Indonesia sebagai organisasi masyarakat yang selama ini selalu menjadi rujukan solusi bagi setiap problematika umat muslim, dalam Musyawarah Nasional MUI ke-VII pada tanggal 26-29 Juli 2005 di Jakarta memutuskan dan menetapkan bahwa:
1)      Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah;
2)      Perkawinan pria muslim dengan wanita ahli kitab menurut qaul mu'tamad adalah haram dan tidak sah.

melalui Putusan Nomor 68/PUU-XII/2014 dan Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010, MK telah memberikan landasan konstitusionalitas relasi agama dan negara dalam hukum perkawinan bahwa agama menetapkan tentang keabsahan perkawinan, sedangkan negara menetapkan keabsahan administratif perkawinan dalam koridor hukum. lalu dipertegas dengan Wakil Sekjen MUI Bidang Hukum dan HAM Ikhsan Abdullah menyatakan, putusan MK telah sesuai UU 1/1974, yakni perkawinan harus berdasarkan agama dan kepercayaannya. Perkawinan beda agama tidak sah karena tidak sesuai dengan UU. Sementara Muktamar Majlis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah ke XXII, tanggal 12-16 Februari 1989 di Malang Jawa Timur, menetapkan beberapa keputusan, antara lain tentang Tuntunan Keluarga Sakinah dan Nikah Antar Agama. Menurut keputusan Muktamar tersebut, nikah antar agama hukumnya haram. Maka perkawinan antara seorang pria muslim dengan wanita ahlu kitab atau wanita musyrik dan perkawinan wanita muslim dengan pria ahlu kitab atau pria musyrik dan kafir adalah haram (Keputusan Muktamar Tarjih:301-308). Kedua Institusi keagamaan di atas baik MUI maupun Majlis tarjih dalam menetapkan status hukum perkawinan beda agama menggunakan landasan hukum yang hampir sama, yaitu berdasarkan pada Al-Quran, As- Sunnah dan Qawaid Fiqhiyah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun