Mohon tunggu...
Della Agustin
Della Agustin Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Mahasiswa Sistem Informasi Kelautan Universitas Pendidikan Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Artikel Utama

Kenapa Semua Manusia Hipokrit?

17 Mei 2022   04:05 Diperbarui: 20 Mei 2022   01:30 2478
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi two-faced personality. (sumber: unsplash.com/@roy_nishi)

Hypocritical juga berarti sifat yang menjadikan orang bertindak bertentangan dengan keyakinan atau perasaaan yang dianyatakan.

Mengenai hipokrit, sebenarnya sudah sering dibahas: at some point, we are all hypocritical, and that is totally okay. Kata hipokrit kerap kali dikonotasikan dengan sesuatu yang negatif. 

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, hipokrit diartikan sebagai: 1. (a) munafik; 2 (n) orang yang suka berpura-pura. 

Selanjutnya, dilansir dari situs Merriam-Webster, hypocritical (a) dimaknai sebagai karakter atau tingkah laku yang bertentangan dengan yang apa yang diklaim atau diyakini oleh seseorang. 

Hypocritical juga berarti sifat yang menjadikan orang bertindak bertentangan dengan keyakinan atau perasaaan yang dianyatakan.

Menjadi hipokrit itu, menurutku, adalah perilaku yang sangat normal dan manusiawi. Dalam beberapa kasus, kita ini enggak lebih dari sekumpulan orang munafik yang berusaha menjadi baik untuk orang banyak. 

Terkait hal tersebut, manusia punya kepribadian yang berbeda-beda yang ditunjukkan terhadap orang tertentu saja. Perlakuan kita ketika berhadapan dengan bos dan ketika berhadapan dengan teman pastinya berbeda. 

Perilaku yang ditunjukkan kepada teman dan kekasih saja enggak selalu sama, pasti ada perbedaannya. Kalau begitu, yang mana "kita yang asli"? Semuanya! Semua perilaku yang kita tunjukkan adalah kita. 

Aku yang marah sama seorang teman yang membatalkan janji temu satu jam sebelum acara berlangsung dengan aku yang meminta maaf sama kakakku karena datang terlambat ke sebuah acara adalah orang yang sama.

Kata hipokrit sering kali dikaitkan dengan orang terdekat yang mengambil keuntungan dari kita; atau terhadap kawan yang manis di depan, tetapi sering bicara hal buruk akan kita di belakang; yang sebetulnya, enggak salah juga. Enggak ada aturan boleh tidaknya menaruh kata hipokrit di suatu kalimat; kalau menurutmu kalimatnya perlu dibubuhkan kata hipokrit, ya, silakan saja. 

Poinku di sini adalah ingin sedikit mengingatkan, bahwa menuduh seseorang mutlak sebagai hipokrit itu kurang tepat---mengingat, we all have various faces we show differently to various people as well. 

Manusia itu, pada dasarnya punya insting adaptasi dan bertahan hidup yang cukup besar. Kita cuma berusaha untuk diterima oleh seseorang atau kelompok tertentu yang memenuhi kriteria kita. 

Menjadi orang lain untuk menjalin relasi dengan orang lain acap kali dinyatakan sebagai perilaku yang enggak tepat. 

Well, manusia itu makhluk visual dan enggak jarang langsung menarik kesimpulan pada impresi pertama. Frasa "Don't judge the book by its cover" itu enggak pernah sepenuhnya terimplementasi. Bersikap baik itu bare minimum sebagai seorang manusia, sih, menurutku. 

Di sini, aku juga mau mengasosiasikan hipokrit dengan muka dua (two-faced personality), yang kalau dilihat-lihat enggak jauh berbeda.

Kita ini cuma makhluk penuh cela yang, barangkali, sadar akan kegagalan dan kesalahan kita (yang diakibatkan oleh pemenuhan suatu standar tertentu yang dibuat oleh sistem) and strive for greater wholeness, atau yang sudah cukup puas dengan hal-hal yang diberi Tuhan. 

Kita ini lucu, deh, kadang-kadang. Sudah tahu enggak ada yang sempurna, tetapi mencari kesempurnaan di dalam suatu entitas (entah itu benda atau makhluk hidup) enggak pernah berhenti menjadi rutinitas.

Oh ya, ada beberapa hal yang menjadikan manusia itu hipokrit, dalam beberapa hal. Salah satunya adalah karena ekspektasi. Rasanya aku pernah menulis sampah yang sama tentang ekspektasi dan cita. 

Aku selalu percaya, dalam setiap relasi yang kita bangun itu enggak pernah lepas dari ekspektasi---sekecil apa pun bentuknya. I do that too. Ekspektasi ini rupa-rupa wujudnya, tetapi, yang jelas, ekspektasi yang dibangun ini bisa menjadi landasan aku (si pembuat ekspektasi) dalam bersikap. 

Aku ingin diperlakukan baik oleh seseorang, maka dari itu, aku juga berbuat baik sama orang tersebut. Kalau ekspektasiku enggak terpenuhi, apakah aku marah? Tentu saja! 

Agaknya ini jawaban populer bagi semua orang. Meski begitu, beberapa orang punya orientasi relasi dan prinsip yang bervariasi, karenanya ada sebagian orang yang enggak masalah diperlakukan enggak seharusnya (menurut standar kita) oleh seseorang.

Selain itu, kita juga cenderung membuat praduga ketika menjalin relasi. Orang ini pasti enggak menyukai orang yang suka ngaret; Si X kayaknya suka, deh, dikasih pujian-pujian kecil; kalau dilihat-lihat, D ini tipikal yang senang berkawan sama orang yang suka nge-joke, ya. 

Praduga itu, beberapanya, membentuk perilaku kita terhadap orang berbeda-beda. Enggak apa-apa. Setiap orang punya perannya masing-masing dalam scene kehidupan orang lain. 

Kalau diperhatikan lagi, iya, kita enggak berbeda jauh dengan aktor teater yang lalu lalang berganti-gantian menguasai panggung kehidupan.

Semoga sikap alamiah yang kita miliki ini bisa menjadi berkah dan dimanfaatkan dengan baik, ya! Aku yakin, segala sesuatu yang Tuhan berikan itu punya peranannya masing-masing dalam membantu kita berkembang menjadi manusia yang lebih baik.

Maaf kalau terlalu fafifu wasweswos hehehe. Salam hangat!

17 Mei 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun