Mohon tunggu...
Della Agustin
Della Agustin Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Mahasiswa Sistem Informasi Kelautan Universitas Pendidikan Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Kebanyakan Makan Angan

9 April 2022   19:37 Diperbarui: 9 April 2022   19:39 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sabtu sore, minggu kedua di bulan April. Kala menulis ini, aku tengah ditemani tembangan milik Tulus, Satu Kali judulnya. Omong-omong tentang Tulus, dari kesepuluh lagu di album Manusia, Satu Kali dan Nala adalah favoritku. Apa, ya, Satu Kali punya lirik yang comforting, dengan nada yang seru. Rasanya seperti diajak berjalan pelan-pelan sambil mengobrol, setelah seharian berlari kencang mengejar entah-apa. Kalau Nala, ada penggalan lirik yang simply caught my attention saja. 

Nala figur sederhana.

Tak ramai kelilingnya.

Sembilan dua lahirnya.

Hari besar baginya bila melihat benih cinta.

Bagi Nala itu langka.

Mungkin pesan cerita yang disampaikan di sini yang membuat lagunya menarik. Nadanya juga sedap didengar. Makanya, Nala jadi salah satu lagu yang merajai chart bulan Maret dan April-ku (setidaknya sampai saat ini).

Eh, omong-omong, bukan ini yang mau kubicarakan. Aku tadi sempat terpikir untuk bikin review album Manusia dari perspektif orang yang buta musik, sih, tapi enggak jadi (bukan itu yang mau kubahas di sini). Ya, aku enggak begitu paham mengenai musik. Meski begitu, musik rasanya seperti bagian dari diriku. Hehehe. Aku suka mendengarkan musik saja. Ragam genre, ragam cerita. Ah, jadi ke mana-mana.

Tentang judul yang kusematkan di atas. Aku mau berbagi resahku yang belakangan ini mengganggu banget. Mau sambil mencari patron yang sekiranya dapat diambil dari hal-hal yang minggu ini lewat-lewat di kepalaku.

Kebanyakan makan angan. Aku rasa, aku terlalu banyak diberi makan angan dan, meski sadar itu enggak terlalu baik buat laju hidup, aku tetap melakukannya. Oke, jadi begini, sejak kecil, agaknya enggak sedikit orang yang bilang aku anak yang berbeda. Berbeda dalam artian baik. Pelaku utama dari kejadian ini adalah Bapak, kurasa. Bukannya enggak bersyukur. Punya Bapak yang enggak pernah berhenti memupuk anaknya dengan mimpi setiap pagi adalah hal yang menyenangkan. Aku bersyukur punya Bapak yang seperti Bapak. (Orang tuaku paling keren satu dunia!)

Hanya saja, sepertinya, aku terlalu dinina bobokan mimpi. Betul, aku bisa meraih ini; meraih itu; mencoba ini; mencoba itu. Tapi jeleknya adalah ekspektasi yang selalu kubangun, bahkan sebelum memulai langkah, selalu setinggi tembok besar. Semuanya. Aku selalu menaruh ekspektasi yang besar untuk semuanya. Rasanya menyenangkan dan menyedihkan secara bersamaan. Dibandingkan visioner, menurutku aku lebih mendekati panjang angan. Hal yang enggak seharusnya dimiliki seorang muslim, sebab katanya orang yang panjang angan itu temannya setan.

Jadi, minggu ini rasanya menyebalkan sekali. Banyak yang minta di-ini-itu-kan. Aku yang, katanya, mau ikut kelas menulis (tapi enggak jadi-jadi juga); kemudian ada salah satu program kampus yang kuikuti, yang enggak berjalan sesuai rencana due to my insecurities and bad thoughts; persona yang mau kubangun (enggak tahu kenapa kepikiran ini, padahal sedang enggak menghadapi apa-apa selain program yang kusebutkan sebelumnya; dan yang paling menyedihkan adalah rencana-rencana besar orang mabukku yang aneh banget. Aku benci diriku sendiri, tapi juga bangga di saat yang bersamaan.

To be honest, ini aku enggak tahu aku bicara apa. Malah jadi oversharing begini wkwk.

Oke, karena aku harus merampungkan tugas UTS-ku malam ini, maka aku mau hentikan 'cerita tentang diriku'-nya.

Aku mau menyejajarkan istilah ekspektasi dan angan-angan, meski kalau dilihat di KBBI, keduanya enggak berada dalam tempat yang sama. Ekspektasi itu seperti pengharapan, sedangkan angan, mari sama-sama setuju, dapat diartikan sebagai gambaran. Kalau bicara perihal angan, yang terlintas pasti berkenaan dengan diri sendiri, hal yang personal. Anganku terhadap hari esok, anganku terhadap hari kelulusanku, dan lain-lain; dan lain-lain. Sementara ekspektasi, menurutku, lebih berkenaan dengan orang atau hal-hal di luar diri. Meski enggak sedikit orang yang membebankan ekspektasi pada dirinya sendiri untuk melakukan ini-itu, mencapai ini-itu, aku rasa ekspektasi lebih banyak dikaitkan dengan sesuatu atau seseorang di luar diri kita sendiri. Misalnya adalah ekspektasiku akan teman-teman di tempat kuliah, atau mengenai lingkungan baru yang akan kusinggahi.

Tapi di sini, aku mau menaruh keduanya di meja yang sama.

Tahu, enggak, kalau dalam hidup, kita sering sekali menaruh hal-hal semacam ini di kepala secara otomatis? Seringnya, pemikiran semacam itu datang saat kita tengah menghadapi sesuatu yang baru. Kala memasuki suasana baru, kita akan menduga-duga, orang seperti apa yang akan menyapa kita duluan; atau bagaimana keadaan baru tersebut akan membawa kita. Sembari menduga-duga, biasanya akan muncul gambaran kasar mengenai jawaban yang kita lontarkan sendiri. Aku pernah berpikir, dari mana datangnya ide mengenai angan maupun ekspektasi yang kubangun itu? Pasti ada referensi yang melatarbelakanginya, enggak, sih? 

Mungkin memang ada. Aku belum lihat data sains mengenai hal ini, ini aku menulis asal saja; menuangkan yang terlintas di kepala. Jadi, kalau semisal ditemukan kalimat atau mungkin seluruh teks ini kedengaran seperti diketik orang mabuk, aku mau minta maaf, ya.

Berangan-angan dan menaruh ekspektasi akan suatu hal atau seseorang itu bukan hal yang buruk. Menurutku, itu bagus. Dapat digunakan sebagai langkah preventif juga; langkah preventif dalam menghadapi si hal baru tersebut. Mungkin yang terjadi malah di luar gambaran, tapi seenggaknya, kita sudah melakukan simulasi sebelumnya. Simulasi berharap. Haha. Oh ya, karena hal baru itu seringnya terasa asing, menaruh ekspektasi bisa jadi bahan hiburan juga. Kalau ada yang enggak sependapat dengan perkataan-perkataan anehku, enggak apa-apa. Kubilang juga aku ingin menumpahkan isi kepala saja, sebab rasanya pengap dan berisik.

Sama halnya dengan efek gula, terlalu banyak berangan-angan juga bukan hal yang bijak untuk dilakukan. 

Nanti seperti aku, kalau perjalanannya enggak sesuai dengan yang tergambar di kepala, nangisnya bisa seminggu penuh. 

Let life surprise you!

Berangan saja, enggak apa-apa, tapi sisakan sedikit tempat buat hidup memberimu kejutan. Aku lupa dari mana, tapi ada yang pernah bilang kalau life is like a box of chocolate full of surprises. Isinya kotak cokelat pasti cokelat, sih, cuma mungkin rasa atau rupanya ada yang berbeda. Meski begitu, cokelatnya masih edible buat dimakan, kok.

Aduh, lega juga, sekalipun aku enggak tahu ini tulisannya nyambung atau enggak.

Terima kasih yang sudah baca! 

Semoga sehat selalu dan semoga kita selalu menemukan hal-hal baik dari setiap kejutan kehidupan yang diberi Tuhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun