Maka jangan heran, bila banyak mantan koki yang sebelumnya telah bekerja bertahun-tahun di restoran cepat saji, namun selama hidupnya dia tidak pernah tahu dengan pasti bagaimana resep makanan yang dibuatnya selama bertahun-tahun.
Sosiolog kenamaan Amerika, George Ritzer pernah mengkritik habis-habisan restoran cepat saji di dalam bukunya yang berjudul McDonalization of Society.Â
Baginya, restoran cepat saji merupakan anak kandung dari modernitas yang merepresentasikan kultur dari kehidupan modern, yang sangat memuja efektifitas dan efisensi yang berlebihan.Â
Pendewaan akan efisiensi dan efektivitas telah mengobrak-abrik nilai adiluhung dalam budaya memasak, yaitu memasak dengan rasa cinta dalam setiap olahan makanan.Â
Pendegradasian nilai itulah yang pada akhirnya membuat budaya masak di lingkungan restoran cepat saji hanya sebatas menjadi pemenuh kebutuhan biologis tanpa menghiraukan kandungan gizi bagi para konsumennya. Hal ini yang telah dikritik oleh banyak pihak mengenai produk dari restoran fast food yang ternyata berbahaya dan berefek domino terhadap gangguan kesehatan masyarakat.Â
Banyak makanan cepat saji kaya kalori karena mengandung banyak mayones, keju, garam, daging goreng, dan minyak, sehingga mengandung kandungan lemak jahat yang tinggi. Konsumsi lemak yang berlebihan tentu akan mengakibatkan pola makan yang tidak seimbang.Â
Protein dan vitamin umumnya direkomendasikan untuk konsumsi harian daripada karbohidrat atau lemak dalam jumlah besar. Karena kandungan lemaknya, makanan cepat saji berimplikasi pada kesehatan yang buruk dan berbagai masalah kesehatan yang serius seperti obesitas, jantung dan diabetes.Â
Pengejaran konsep akumulasi modal dan efisiensi juga bukan keseimbangan ekosistem lingkungan. Restoran fastfood merupakan pihak yang menerapkan cara makan melalui peralatan sekali pakai sebagai model bisnis mereka. Hal ini tentu akan berakibat pada penambahan volume sampah kemasan makanan sekali pakai di alam.Â
Selain itu kebutuhan protein hewani yang tinggi untuk aneka olahan makanan fastfood membuat peternakan tidak mempedulikan kesejahtraan hewan, salah satunya dapat terlihat saat ini, dari bagaimana maraknya fenomena peternakan ayam dengan kandang bater.Â
Dalam penjara semacam itu, ayam hanya dipaksa untuk bertambah besar dan menghasilkan telur saja setiap harinya. Jenis penyiksaan ini membuat ayam seringkali menjadi stress bahkan tak jarang berakhir dengan membunuh dirinya sendiri.
Terlepas dari argumentasi pembaca yang akan mengatakan bahwa Kartun Spongebob merupakan bagian dari media yang mempromosikan makan fastfood, penulis hanya ingin menekankan bahwa kehidupan modern yang memuakkan dalam fenomena ini berawal dari pendewaan akan konsep efektivitas dan efisiensi berlebihan yang kian hari kian banyak dianut oleh restoran cepat saji.Â