"Seniman adalah seseorang yang bekerja memperdalam misteri,"Â - Francis Bacon.
Menonton film Joker ibarat menelanjangi diri sendiri dan mempertanyakan kepada diri kita, "Apa benar hidup ini sepenuhnya baik-baik saja?" Tak usah diceritakan ke orang lain, cukup kita sendiri yang menjawabanya di dalam hati.
Sementara itu, terlepas pro dan kontra Joker (2019) yang diperankan dengan apik oleh Joaquin Phoenix. Menonton Joker karya sineas Todd Philips ini seperti memahami karya-karya filsuf kenamaan, Friedrich Nietzsche dengan konsep terkenalnya Ubermensch
Merunut salah satu buku karya Nietzsche yakni Also Sprach Zarathustra terbitan Narasi (2015). Ubermensch digambarkan sebagai cara manusia memberikan nilai pada dirinya sendiri, tanpa berpaling dari dunia, atau menilik ke seberang dunia lainnya.
Dalam hal ini, Nietzsche mencoba memangkas kepercayaanya akan bentuk dari suatu nilai adikodrati manusia dan dunia itu sendiri. Baginya manusia yang telah mencapai Ubermensch adalah manusia yang selalu mengatakan "yes" akan kebanyakan hal, lalu siap dalam menghadapi tantangan yang akan segera datang dari hidup itu sendiri.
Jadi seperti sosok Joker yang belakangan ini kontroversial di beberapa media massa dan sudut pandang pencinta film yang terbiasa dengan kosep terang dan baik-baik saja, maka Joker bukanlah selera yang layak untuk dipaksakan ditonton, atau dalam artian akan dianggap biasa saja selepas itu.
Namun bagi orang yang terlebih dahulu mahami bahwa hidup tidak hanya tentang perkara baik semata, maka Joker bagi mereka adalah serupa Ubermensch yang tidak pernah menyangkal ataupun gentar dalam menghadapi berbagai dorongan hidupnya yang maha dasyat.
Bahkan, sang tokoh utama Joker, Joaquin Phoenix akhirnya turut memberi tanggapan terkait beberapa pertanyaan soal filmnya yang mempromosikan kekerasan.Â
Dilansir dari laman bbc.co.uk, Phoenix mengatakan bahwa terkadang orang-orang suka salah dalam mengartikan lirik dari sebuah lagu. Salah mengartikan narasi-narasi dalam sebuah buku.
"Jadi saya tidak berpikir bahwa menjadi tanggung jawab pembuat film untuk mengajarkan moralitas penonton atau perbedaan antara benar dan salah," ujarnya.
Seni Tidak Melulu Tentang Keindahan Tetapi Juga Bentuk dari Labirin Panjang Kegelapan.
Di sebuah jalan di kota Gotham tahun 1981, Arthur Fleck (Joaquin Phoenix) menari-menari di tengah dera kehidupannya sebagai kaum urban pinggiran. Di balik jubah badut yang ia pakai, telah ia katakan "Ya" kepada apapun yang bisa membuat orang lain tertawa. Karena sabda ibunya bahwa dia dilahirkan untuk membuat orang lain  tertawa telah menjadi tuntunan, akan ceruk kecil hidup yang harus ditempuh.
Akan tetapi, dunia tidaklah selalu serupa puing-puing indah yang lekas membawanya pada kelayakan hidup pada umumnya, dunia Arthur adalah dunia yang mendekatnya pada sosok Joker di tengah individualitas kaum urban metropolitan. Dunia yang menciptakan labirin panjang kegelapan.
Pelan dan perlahan, kehidupan yang tidak berjalan sesuai ekspektasi membawanya pada pernyataan kuat untuk menjalani "seni" kehidupan, bukan malah berdalih untuk menyangkal, apa lagi berkata tidak. Ini serupa ungkapan dalam bahasa latin, amor fati fatum brutum yakni mencintai takdir walaupun takdir itu kejam (brutal).
Lebih lanjut, secara konsep Joker (2019) lebih tepat disebutkan sebagai drama psikologis, karena ia bertumpu pada kehidupan sosok Joker, bernama Arthur Fleck.Â
Rangkaian demi rangkaian fragmen yang dihempaskan dalam film secara jelas membawa kita pada kemuraman hidup, jalan panjang dan berliku ke depan yang barang tentu tidak selalu asyik dan bahkan membawa kita dalam delusi protagonis.
Jadi jangan berharap akan banyaknya cahaya terang yang sering ditampilkan seperti dalam kisah film superhero yang sering bermunculan di jagad layar perak, karena hidup yang tergambar dalam adegan film sepanjang 2 jam 2 menit ini ialah serupa labirin panjang kegelapan.Â
Butuh nyali dan kejernihan sikap untuk mencernanya, kecuali anda ingin duduk dan keluar sebagai seorang pencerca.
Hal ini juga seperti ketika banyak orang menganggap film ini terlalu kokoh mengagungkan kekerasan, sementara mereka enggan untuk duduk bersama dan berdiskusi tentang asal usul kekerasan itu sendiri.
"Bagi saya, seni memang seharusnya rumit. Jadi, jika Anda ingin seni yang tidak rumit, Anda mungkin cocok belajar kaligrafi." ungkap sang sutradara Todd Phillips ketika diwawancara thewrapt.com.
Nb: Tulisan ini juga telah tayang di Pelantar.Id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H