Korupsi merupakan bentuk kejahatan yang sangat kompleks, biasanya sering dijumpai di negara-negara berkembang. Tindakan korupsi dikategorikan sebagai tindakan penyalahgunaan kekuasaan untuk memperoleh keuntungan material pribadi serta bentuk pengkhianatan terhadap kepercayaan masyarakat. Korupsi adalah musuh bersama.Â
Korupsi dapat mempengaruhi berbagai faktor dalam suatu negara, seperti ketidakstabilan perekononian negara, melumpuhkan jiwa sosial-masyarakat, menciptakan sistem politik tidak sehat dan sebagainya, sehingga tindakan penyelewengan kekuasaan tersebut dapat memperburuk tata kelola bersama.Â
Masifnya korupsi yang merusak tatanan kehidupan masyarakat ini saya rasa menarik untuk dikaji lebih dalam karena didalamnya terdapat unsur ketidakmoralan dan ketidakrasionalan yang memberikan gambaran negatifitas manusia.
Korupsi yang berasal dari kata "corruptio atau corruptus" ini merupakan perilaku irasional yang menunjukkan bagaimana sisi gelap manusia, dimana manusia memiliki hasrat besar untuk berkuasa atas sesuatu dengan tujuan memperkaya diri sendiri dan golongannya tanpa memperdulikan lagi rasa kemanusiaaan. Â Apabila sisi gelap tersebut tertanam kuat dalam diri manusia, maka perilaku korupsi akan terus-menerus terjadi.
Seperti pandangan Aristoteles di era Yunani Kuno, yang melihat bahwa korupsi adalah tindakan yang tak rasional. Aristoteles memilah laku manusia kedalam dua bagian yaitu rasionalitas dan emosionalitas. Korupsi merupakan laku manusia yang bersifat emosional, mereka (para koruptor) cenderung mengikuti emosinya dibandingkan rasionya saat mengambil keputusan. Padahal, koruptor tahu betul bahwa kekayaan yang dimilikinya adalah aset negara yang seharusnya dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat.
Faktanya, para koruptor sudah mengetahui mana nilai moral yang baik dan buruk, namun mereka tidak memiliki perasaan moral pada dirinya, karena diri mereka sudah dikuasai oleh nafsu dan keinginan yang hendak dicapainya. Hal ini bersesuaian dengan perspektif dari seorang filsuf Jerman yakni F. Nietzsche mengemukakan bahwa baik dan buruknya tingkah laku manusia merupakan suatu kekuasaan yang dapat ditentukan oleh manusia itu sendiri untuk melakukan tindakan selanjutnya. Dalam kasus ini, artinya tindakan korupsi mengacu pada esensi moral yang buruk yang dilakukan oleh orang-orang yang rakus.
Seseorang yang melakukan tindakan penyalahgunaan kekuasaan mungkin saja bukan orang yang terlahir di lingkungan kriminal, namun karena dirinya memiliki kehendak untuk menguasai sesuatu sehingga dirinya terjebak dan tidak dapat mengambil keputusan secara tepat. Sehingga diperlukannya sebuah upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan  melalui kebijakan-kebijakan yang komprehensif, yaitu dengan mengintegrasikan pendekatan yang dapat menciptakan prakondisi kehidupan bermasyarakat yang lebih kondusif.
Korupsi tidak semata-mata hanya sebagai bentuk  pelanggaran hukum tetapi juga berkaitan dengan persoalan moralitas. Hal tersebut semakin tampak karena adanya unsur kesengajaan dalam penyalahgunaan kekuasaan. Oleh karena itu, setiap individu harus ditanamkan secara kuat aspek moral dalam kehidupan, baik perasaan moral maupun tindakan moral.
Oleh karena korupsi erat hubungannya dengan moral yang ada dalam diri manusia, maka disinilah peran sebuah filsafat moral (etika). Etika Aristoteles memandang rasio sebagai salah satu bagian dari jiwa. Etika ini menawarkan manusia untuk kembali pada sifatnya yang hakiki. Segala kekayaan, reputasi dan popularitas yang bersifat eksternal tidak akan pernah menjadi aset yang paling berharga bagi manusia. Seharusnya manusia tidak terpengaruh (manifestasi emosi) dengan hal-hal tersebut.
Dengan demikian, upaya pencegahan tindakan korupsi dapat dilakukan dengan melakukan pendekatan kepada setiap individu dan menanamkan aspek moral dalam diri mereka sehingga mereka mampu hidup dengan mengutamakan reflektifitas rasionya-yang kemudian- menghindarkan ia dari segala bentuk kejahatan seperti korupsi dan bentuk kriminal lainnya.
Daftar Pustaka
Nietzsche, F. W. (2020). The Will to Power: Kekuasaan dan Hasrat yang Melampaui Kemampuan Diri Manusia. Yogyakarta: Narasi. Diakses pada tanggal 9 November 2021.
Haryati, Tri Astutik (2015). Korupsi Perspektif Filsafat Etika Aristoteles. Pekalongan: Stain Pekalongan Press. Diakses pada tanggal 10 November 2021.
Priyono B Herry (2018). Korupsi: Melacak Arti, Menyimak Implikasi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Diakses pada tanggal 10 November 2021.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H