Aku masih sibuk menuliskan puluhan komentar berupa kutipan dari Pramoedya Ananta Toer sembari menandai akun teman-teman dekat. Salah satu penerbit tengah mengadakan sesi give away. "Harus dapat," batinku.
Satu hari penuh aku habiskan dengan membuka foto, tangkapan layar, hingga catatan kalimat-kalimat dari buku Pram yang pernah kubaca. Aku berusaha menulis kutipan yang jarang dipakai dengan kuantitas berlimpah. Usaha menarik perhatian admin Instagram itu sungguh berhasil. Aku jadi salah satu pemenang dan berhak memperoleh buku Bukan Pasar Malam secara gratis.
Peristiwa tersebut memang sudah lama terjadi, tapi rasa senangnya masih bisa terbayangkan. Aku menuntaskan buku itu segera setelah paket pengiriman aku terima. Itu jadi momen pertama aku mau membaca ulang sebuah buku.
"Mengapa orang ini tak ramai-ramai lahir dan ramai-ramai mati? Aku ingin dunia ini seperti pasar malam." Kutipan itu masih terngiang-ngiang dan jadi salah satu kalimat favoritku dari buku setebal 112 halaman ini.
Budaya membacaku sesungguhnya rendah saja seperti kata kebanyakan survei minat baca Indonesia. Tak ada ketertarikan khusus sehingga jenis bacaanku cenderung acak. Minatku tergantung pada ketersediaan perpustaakan desa yang tak seberapa.
Kondisi tersebut baru berubah kala aku duduk di bangku sekolah kejuruan. Mukjizat Tuhan mengenalkanku pada Tetralogi Pulau Buru. Cerita bersambung dari empat buku tersebut berhasil menyambar isi kepala dan perasaanku. Aku jadi keranjingan membaca buku-buku milik penulis kelahiran Blora ini. Dengan uang yang tak seberapa, aku turut sempatkan membeli bukunya.
Kalimat-kalimat Pram kerap aku jadikan status di media sosial. Aku merasa jadi manusia keren karena bisa mengenal sastra Indonesia. Aku menonton video yang terkait dengan Pram, membaca kisah hidupnya, bercerita pada kawan-kawan soal isi buku yang aku baca, sekaligus menyuruh mereka membaca buku yang sama. Aku menjelma jadi manusia berapi-api dan terkesan ndakik-ndakik. "Wah, luar biasa!"
Sesungguhnya geli juga mengingat masa-masa itu. Terkesan katrok. Meski begitu, aku paham kalau waktu puber soal mencintai buku itu memang datang terlambat. Najwa Shihab pernah berkata, "Cuma perlu satu buku untuk jatuh cinta pada membaca. Cari buku itu, mari jatuh cinta!" Bagiku, satu buku itu adalah Bumi Manusia. Cerita yang mendorongku untuk membaca banyak buku lain sembari mendewasakan pribadiku.
Bukan Pasar Malam sendiri memberikan keintiman khas yang tidak aku dapatkan dari karya-karya Pram lain. Roman yang sepenuhnya berisi kesusahan dan perih itu sukses membikin hatiku tersayat-sayat. Segagah apapun manusia, ternyata hatinya akan jadi lunak kala berhadapan dengan maut. Sepetak jiwaku gamang waktu dihadapkan pada kenyataan sehari-hari semacam ini.
Aku jadi merasa kemelaratanku tidaklah apa-apa, kesedihanku tidaklah apa-apa. Kemuraman dan kegelisahaan yang aku rasakan ternyata memiliki tempat. Aku jadi ingin seperti tokoh Bapak. Guru penuh bakti yang melakukan kerja untuk kemerdekaan orang banyak. Orang yang kuat dalam perjuangan, memiliki perasaan tanggung jawab yang mengagumkan, juga bercita-cita tinggi. Namun, pada saat yang sama aku tak ingin tenggelam dalam kekecewaan lalu tak menemukan obat. Aku tak ingin jadi nasionalis. Aku takut. Seketika aku menjelma menjadi tokoh "Aku" dalam buku tersebut yang sibuk mengkritik kekerdilan diri sendiri.