Perkembangan teknologi khususnya internet dianggap sukses melahirkan ruang publik (public sphere) baru yang akrab disebut cyberspace. Melalui berbagai fiturnya, internet menawarkan kebebasan berekspresi dengan hambatan yang sangat minim. Latar belakang gender, pendidikan, bahkan usia tidak lagi menjadi tolak ukur. Orang bebas berkomunikasi melalui berbagai platform tulisan, audio, ataupun video disertai dengan dukungan fitur spesial. Misalnya, like, share, follow, block, hingga menyembunyikan identitas atau yang kerap kali disebut anonim.
Kemudahan tadi tidak jarang dianggap sebagai garis finis dari kebebasan berekspresi. Padahal sebenarnya, Â ruang publik baru juga menghadirkan berbagai hambatan yang tidak kalah besar dibanding dengan ruang publik konvensional. Contohnya, filter buble media yang mampu mengisolasi penggunanya dalam ruang gema (echo chamber). Hingga melahirkan fenomena era pasca kebenaran (post truth era) dan berujung pada polarisasi masyarakat, bahkan disintegrasi suatu bangsa.
Realitas semacam tadi tentu bertentangan dengan pangkal gagasan dari ruang publik. Oleh sebab itu, perlu rasanya menengok konsep awal ruang publik dari pencetusnya yaitu Jurgen Habermas. Bagi Habermas, ruang publik tidak hanya diartikan dalam bentuk fisik (keruangan), tetapi juga secara abstrak (non-keruangan). Meskipun begitu, keduanya berbagi pandangan yang sama bahwa ruang publik adalah tempat yang dihidupi oleh masyarakat sipil untuk memantau politik yang dijalankan negara dengan menggunakan nalar publik.
Ruang publik tidak bisa dilihat sebagai utopia eksklusif yang bebas dari pengaruh luar. Sekalipun begitu, melalui kritikan Habermas terhadap ruang publik borjuis dapat diketahui bagaimana prinsip-prinsip ideal dari ruang publik. Pertama, ruang publik tidak mengasumsikan kesamaan status individu karena ukuran yang dipakai adalah nilai kebijaksanaan. Dengan demikian, seseorang yang memiliki argumen yang lebih baik akan menduduki posisi yang lebih tinggi tidak peduli bagaimana latar belakangnya. Kedua, kepentingan bersama menjadi satu-satunya alasan bagi setiap orang untuk berkumpul di ruang publik. Artinya, argumen mengenai kepentingan personal tidak dapat dimunculkan pada diskusi dalam ruang publik. Ketiga, ruang publik bersifat inklusif. Di mana mampu menggunakan rasionalitas adalah syarat mutlak bagi individu untuk berpartisipasi dalam ruang publik.
Memandang ruang publik saat ini melalui prinsip ideal Habermas tentu menjadi sesuatu yang menarik. Dalam cyberspace, daya akses dan respon setiap pengguna terhadap informasi hampir sama. Oleh sebab itu, rasio sebagai pilar mutlak untuk bisa terlibat dalam ruang publik menjadi kabur. Kemudahan yang ditawarkan justru berujung pada kebebasan yang tidak terkontrol. Ruang publik baru justru dipenuhi oleh sinisme yang nihil akan gagasan. Hal ini diperparah dengan masuknya nilai kepentingan personal sehingga media digunakan sebagai alat untuk kampanye, bahkan membangun narasi. Alhasil, individu dalam ruang publik baru justru sibuk dengan petarungan politik identitas dan labelisasi sehingga jauh dari ranah ide, apalagi relevansi atas kepentingan publik.
Fenomena demikian juga disoroti oleh Habermas kala itu, pada pertengahan abad ke-20 ketika kapitalisme lanjut (late capitalism) mulai hadir. Era tersebut identik dengan berkembangnya ekonomi dalam skala besar dan meluasnya birokratisasi. Atmosfer diskusi raisonal mulai luruh dan tergantikan oleh pengumbaran selera jual beli. Publik yang kritis berubah menjadi konsumen yang patuh dan homogen. Kegiatan intelektual diberikan sekat karena hanya dijalankan oleh kaum teknokrat yang dianggap ahli, debat panjang dirubah menjadi voting, bahkan argumen kritis menyusut menjadi kecenderungan opini individu secara pribadi. Singkatnya, publik menjadi semakin jinak dan apatis. Habermas menyebut fenomena budaya industri tadi sebagai refeodalisasi ruang publik.
Sebagai negara demokrasi, Indonesia berkomitmen untuk menjaga kebebasan berekspresi warga negaranya. Komitmen tersebut dituangkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 E ayat (3) yang menyatakan bahwa setiap orang memiliki kebebasan berserikat, berkumpul, dan berpendapat. Yang mana penjelasan tersebut tentu tidak berbeda dengan hakikat dari ruang publik Habermas.
Namun, dalam (Aulia,2019) membuktikan hal yang sebaliknya. Dalam artikel itu, disebutkan bahwa Indonesia mendapatkan predikat flawed  democracy dari The  Economist  Intelligence Unit. Predikat tersebut diberikan kepada negara demokratis, yaitu negara yang menyelenggarakan pemilu, tetapi memiliki indeks demokrasi yang rendah. Salah satu indeks yang digunakan adalah civil  liberties. Di mana untuk indeks tersebut, Indonesia hanya mendapat skor 5,59 dan cukup tertinggal dari yang lain, termasuk dengan negara tetangga yaitu Timor Leste yang mencapai skor 7,35.
Mengintip lebih dalam mengenai praktik kebebasan berekspresi di Indonesia saat ini. Pemerintah seakan-akan justru ingin kembali mendekat pada sistem yang otoriter. Melalui kebijakannya, negara seringkali melakukan tindakan represi atau pembungkaman khususnya pada penyampaian kritik dari masyarakat. Fenomena tersebut salah satunya dapat ditengok dari penerapan UU ITE yang terkesan longgar, bahkan ugal-ugalan. Masih dalam artikel yang sama yaitu (Aulia,2019) disebutkan jika pada masa pemerintahan Jokowi (2014-2019) terjadi peningkatan kasus yang berkaitan dengan kebebasan berekspresi hingga mencapai 233 kasus. Hampir naik tiga kali lipat dibandingkan pada masa SBY (2009-2014) yaitu 74 kasus. Menariknya, dilansir dari tirto.id, proses penjeratan kasus menggunakan UU ITE paling banyak dilakukan oleh pejabat negara yaitu sebesar 35,92%. Di mana yang menjadi sasaran utamanya adalah orang awam, diikuti oleh aktivis, para pelajar dan mahasiswa, guru dan dosen, hingga jurnalis. Pada akhirnya, peraturan kebebasan berekspresi yang dibuat oleh pemerintah hanyalah sekadar konsep yang nihil akan praktik. Janji bakal adanya jaminan ruang publik nyatanya hanyalah sebuah ilusi.
Pada akhirnya, praktik kebebasan berekspresi sebagai implementasi dari konsep ruang publik Habermas terhambat oleh banyak faktor. Di mana individu saat ini lebih disibukkan dengan aktivitas privat demi mengikis kesenjangan ekonomi, struktur sosial yang menjadikan opini masyarakat kelas atas lebih didengar, dan tentunya tindakan represi dari negara dalam rangka melindungi kepentingannya. Hambatan yang ada tidak berhenti sampai di situ, bahkan mekanisme penyampaian argumen secara formal sendiri pada kenyataannya justru menjadikan masyarakat kelas bawah terintimidasi, apalagi teknologi yang dianggap mampu menjawab persoalan ini justru memanipulasi pengguna melalui algoritmanya. Begitu banyaknya kendala yang ada membuat tujuan ruang publik yaitu memantau kegiatan politik negara menjadi terkesan sulit dan hanya terbatas pada angan-angan saja.
Meski demikian, sebagai pribadi yang memiliki nalar tentu kita tidak bisa berdiam diri dan pasrah pada kesulitan yang ada. Gerakan dan harapan akan adanya praktik ruang publik yang ideal harus terus dihidupkan. Merebaknya kegiatan jurnalisme warga (citizen journalism) merupakan salah satu contoh nyata. Fenomena tersebut adalah jawaban atas tantangan media massa arus utama yang berubah menjadi korporasi besar karena berafiliasi dengan kepentingan politik dan ekonomi. Hingga berdampak pada kegagalan media arus utama dalam memegang peranan vital pada ruang publik, yakni selaku penghubung komunikasi kepada isu serta sebagai badan yang menetralisisasi pengaruh kekuasan di dalam ruang publik. Jurnalisme warga yang muncul dari inisatif publik sendiri, serta bergerak secara independen mencoba menjawab tantangan ini. Jurnalisme warga hadir untuk menjadi jalan alternatif demi memberikan pencerahan kepada publik.