Pertengahan April ini Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) merilis hasil surveinya terkait dampak Covid-19. Hasil survey tersebut menyimpulkan, sebanyak 70 persen responden merasakan penurunan pendapatan dibanding sebelum wabah. Hasil survei juga menemukan fakta bahwa 67 persen masyarakat menyatakan kondisi ekonomi mereka semakin buruk sejak Covid-19 ini mewabah.
Tentu saja hasil survei ini memberikan sinyal pada kita, dampak Covid-19 begitu nyata. Semua sisi kehidupan kita tak luput dari virus yang kini sudah menjangkiti sekitar dua juta lebih penduduk dunia, dan 139 ribu lebih diantaranya harus kehilangan nyawa. Tak bisa dipungkiri, virus Covid-19 tak hanya menyisakan persoalan kesehatan yang kini menjadi pandemi dunia. Persoalan ekonomi pada akhirnya menjadi ujung yang kini dihadapi masyarakat kita.
Kembali pada survey SMRC tadi, dengan tiga dari empat orang mengaku pendapatannya berkurang selama wabah Covid-19 ini, ini menjadi sinyal buruk bagi roda ekonomi. Bagaimanapun berkurangnya pendapatan adalah pintu awal seseorang untuk kehilangan pendapatannya. Kehilangan pendapatan ditandai dengan tidak ada lagi yang bisa ia kerjakan. Bisa karena kehilangan pekerjaan maupun kehilangan kesempatan apapun yang bisa dilakukan untuk memberikan pendapatan.
Tentu saja kondisi ini berpotensi memperburuk tingkat pengangguran di Indonesia. Data Badan Pusat Statistik Agustus 2019 menyebutkan, jumlah penganggur terbuka di Indonesia mencapai 7,05 juta orang. Jumlah itu juga belum termasuk 8,14 juta orang yang saat ini sudah setengah menganggur dan 28,41 juta orang pekerja paruh waktu.
Bayangkan jika kemudian banyak orang frustasi dengan wabah ini. Kondisi ini terutama banyak dirasakan oleh mereka yang berjibaku dari hari ke hari untuk mendapatkan pendapatan harian, para pekerja informal, pedagang kaki lima, maupun pedagang yang mengandalkan interaksi dengan sesame manusia untuk menjemput rejekinya terpakda lunglai karena pandemi ini memaksanya tak bisa berbuat apa-apa.
Tidak hanya itu, sejumlah pemutusan hubungan kerja pun marak terjadi. Terakhir beredar di sosial media bagaimana karyawan sebuah departemen store menangis bersamaan, berpelukan, untuk sama-sama merasakan kesedihan setelah manajamen tempatnya bekerja memutuskan untuk menghentikan operasional perusahaan dan memaksa mereka untuk menjadi penggangguran baru.
Tentu saja, banyak hal terjadi, bahkan sebelum pandemi Covid-19 ini, juga banyak kasus PHK terjadi akibat situasi perekonomian yang memang belum beranjak stabil. Apalagi pertumbuhan ekonomi juga diprediksi akan mengalami depresi. Sejumlah pengamat politik juga menghitung, situasi resesi ekonomi juga akan kita hadapi, bahkan sampai akhir tahun depan.
*Harapan*
Lalu apa yang bisa dilakukan? Berdiam diri di rumah memang menjadi anjuran untuk memutus mata rantai penularan Covid-19. Namun, di tengah berkurangnya pendapatan, bahkan hilangnya sumber pendapatan karena PHK, tidak serta merta harus berpangku tangan. Itu pula yang kita lihat dari upaya pemerintah membuka program Kartu Prakerja.Â
Inilah harapan di tengah kejumudan kita menghadapi dampak ekonomi dari pandemi Covid-19 ini. Program ini seakan menjadi jawaban di tengah kondisi ekonomi yang dirasakana hampis sebagain besar para pencari kerja baru, pekerja yang baru kehilangan pekerjaan, maupun mereka yang selama ini bekerja mengandalkan sektor informal.
Harapan itu nyata adanya. Terbukti, sejak dibuka awal April lalu, jumlah pendaftar Kartu Prakerja membeludak hingga melebihi target tahunan. Pemerintah menambah kuota program yang sepenuhnya digelar secara digital tersebut.Lihat saja belum satu minggu sejak dibuka, jumlah pendaftanya mencapai 5,96 juta orang. Padahal, kuota tahunan yang ditargetkan pemerintah awalnya 5,6 juta orang. Beruntung pemerintah kemudian menambah kapasitas agar program bisa mencakup lebih banyak pekerja dan pelaku usaha yang kehilangan nafkah.
Menariknya, pendaftarnya adalah mereka yang berasal dari usia produkti, bahkan para milenial yang tertarik dengan program pelatihan daring yang menjadi program khusus dari Kartu Prakerja ini. Para pendaftar berasal dari 34 provinsi di Indonesia dan paling banyak dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DKI Jakarta, dan Banten. Mengacu data 14 April 2020, ada 233.064 orang dari Jawa Barat, 127.555 orang dari DKI Jakarta, 127.304 orang dari Jawa Tengah, 107.930 orang dari Jawa Timur, dan 54.596 orang dari Banten.
Bagi pekerja yang tertarik, tidak sulit untuk mengakses layanan ini. Orang yang sudah mendaftar pada sistem online yang disediakan, mereka akan mendapat notifikasi lewat SMS untuk memilih kelas pelatihan, membuat rekening virtual, dan memulai program pelatihan, pekan depan. Seusai pelatihan, mereka akan mendapat insentif Rp 600.000 per bulan selama empat bulan. Bantuan akan ditransfer ke rekening peserta.
Program ini sangat tepat dan urgen dengan melihat perkembangan terkini. Apalagi angka pengangguran diperkirakan meningkat tiga bulan ke depan. Khususnya sejak penerapan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar di beberapa daerah yang membuat sejumlah sektor menutup usaha.
Pemerintah sendiri melalui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyiapkan dua skenario, yakni berat dan berat sekali. Skenario berat memprediksi tambahan jumlah penganggur mencapai 2,9 juta orang. Adapun skenario lebih berat memprediksi penganggur akan menyentuh 5,2 juta orang.
Tentu kita sedih dengan kondisi ekonomi yang terdampak akibat wabah Covid-19 ini. Namun, kita tentu tak perlu gelisah, karena program Kartu Prakerja menjadi solusi di tengah situasi yang serba darurat ini. Bagi kalian yang masih gelisah, segera daftar dan ikuti petunjuknya di laman resmi Prakerja.go.id.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H