Mohon tunggu...
Mevi Sari
Mevi Sari Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Hey, Stop Bullying!

15 Mei 2015   17:39 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:01 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya sama sekali nggak menyangka, trauma masa lalu bisa mempengaruhi hidup saya separah ini. Saya memang pendiam, dan itu bukan masalah. Yang menjadi masalah utama adalah kegugupan, fobia, dan depresi yang muncul karena trauma masa lalu. Ya, karena mereka….

Dulu, saat saya baru masuk ke bangku sekolah dasar di Balikpapan, saya sama dengan anak-anak lainnya. Masih polos dan sangat suka bermain. Saat itu saya masuk di kelas 1B. Rasanya semuanya menyenangkan. Sampai suatu saat, ketika saya beristirahat dan hendak menuju ke kantin ada dua orang bocah yang mendadak berteriak mengejek saya. Mereka berteriak, berkata bahwa saya sombong. Dua anak itu adalah teman TK saya. Dulu pun saat masih TK, mereka memang sering mengejek saya, sampai sekarang. Ah, padahal alasan saya nggak pernah menyapa mereka saat berpapasan adalah karena mereka selalu mengejek saya dari TK, dan bagaimana mungkin anak seperti saya, yang selalui mereka ejek, punya keberanian untuk menyapa dua orang yang selalu mencari kesalahan saya? Apa mereka nggak paham?

Tapi semua itu nggak bertahan lama, karena saat kenaikan kelas 3 saya pindah sekolah ke Pulau Jawa, tepatnya di Pacitan. Kebetulan Ayah saya ditempatkan di kota kecil itu. Ya, Pacitan. Awalnya memang sulit beradaptasi, apalagi dengan bahasa Jawa. Saya yang besar di Kalimantan sama sekali nggak paham dengan bahasa itu. Meskipun ada kendala bahasa, hidup saya benar-benar bahagia di sana. Ya, anak-anak Pacitan sungguh lugu, ramah, sederhana, dan mau menerima saya apa adanya. Jadilah saya menjadi anak yang super riang. Hal itu terus berlangsung sampai saya kenaikan kelas 2 SMP. Lagi-lagi Ayah ditempatkan di luar kota. Kini di Madiun. Kota yang cukup besar.

Saya lulus tes ujian di salah satu sekolah menengah pertama favorit di Madiun. Bangga ya? Ah, tapi bangga itu segera luntur saat bertemu dengan teman-teman baru. Di sekolah ini ini gap masih sangat kental, antara kelompok superior dan dan kelompok medium atau inferior. Kelompok superior? Ya, mereka adalah anak-anak ektrovert dan merasa berkuasa di daerah itu. Mereka adalah sekelompok murid perempuan yang rasanya nggak pernah berfikir tentang sadisnya ucapan mereka. Mereka sangat suka membicarakan keburukan orang, mengolok-olok orang lain, dan berkata kasar. Bahkan saya pernah mendengar mereka mencerca seorang siswi dari kelas unggulan karena dia cantik, pintar, dan nggak banyak ulah, serta berhasil mengambil alih hati sang arjuna. Entahlah, katanya gadis itu dilabrak? Betapa sempit pemikiran mereka.

Oleh karena itu, saya putuskan untuk diam. Lebih baik menghindari masalah dengan mereka, kan? Cari aman. Sayangnya lagi-lagi musim berubah dengan cepatnya. Beberapa minggu setelah saya masuk di sekolah itu, ada empat murid baru lagi datang. Mereka dari luar kota, seperti Magetan. Dan alasan mereka pindah sekolah ke Madiun karena mereka ingin masuk di SMA favorit Madiun yang seleksi masuknya lebih mengutamakan murid dari dalam kota Madiun. Kemudian, si “grup superior” kembali berkomentar sadis, “Ini sekolah atau tempat sampah?!” keluh mereka, karena banyak sekali anak pindahan. Saya sebagai anak baru di situ makin mengkerut saja rasanya. Saya makin takut dengan mereka yang jumlahnya sangat banyak. Saat mereka meminta uang pun saya turuti. Suapaya aman. Bodoh ya?

Kehidupan terus berlanjut, masa SMA sebenarnya saya nggak mendapat tekanan. Tapi, ada saja siswi-siswi superior seperti itu, yang selalu mencari kesalahan orang lain. Ada seorang murid cantik, pintar, ikut tim pemandu sorak, dan finalis kartini SMA. Banyak siswa yang suka? Pastinya! Dan banyak pula siswi-siswi yang mencercanya habis-habisan. Karena sering gonta-ganti pacar lah, ini lah, itu lah. Padahal saat di depan sang gadis, mereka sangat baik. Bercanda bersama, belajar bersama. Namun saat di belakangnya? Ya, lidah mereka sangat tajam! Alhasil saya kembali merasa tertekan melihat kondisi yang nggak kondusif. Mengapa banyak sekali bully-ing seperti itu? Padahal menurut saya orang-orang yang dibully adalah orang-orang baik. Kenapa di bully? Kenapa seperti srigala berbulu domba? Jangan-jangan banyak yang seperti itu?

Masa kuliah. Apakah saya sudah terbebas dari tekanan? Oh, ternyata belum. Bahkan ini lah puncaknya. Semua itu menjadi tekanan yang berkelanjutan. Saya berkuliah di salah satu perguruan tinggi swasta elit. Jurusan apa? Kedokteran. Mayoritas anak-anak elit seperti berkumpul di sini. Walaupun nggak semua, ada lumayan banyak juga yang tetap berprinsip hidup sederhana. Tapi bukan itu masalahnya. Masalah sebenarnya adalah dengan terbentuknya gap baru. Ya, ada mahasiswi-mahasiswi superior yang membentuk “kelompok belajar”. Kelompok belajar? Ya, bahasa halusnya. Ada beberapa orang yang saya tau dalam kelompok itu yang selalu memandang remeh dan aneh orang lain karena “kekurangannya”. Lagi-lagi lidah-lidah sadis itu tak hentinya mencerca. Entah mengapa ada saja kekurangan dari orang lain yang mereka bahas. Apa mereka lupa dengan kekurangan mereka?

Saya punya seorang kawan pria yang memang sedikit “ladies”, yang tak luput dari bahan ejekan. Teman saya itu sadar jika kodratnya adalah menjadi seorang pria. Dia berpakaian seperti layaknya pria lain, dan shalat jamaah bersama teman-teman prianya. Tapi ekspresinya memang sedikit menunjukkan sisi feminim. Dan liatlah bagaimana mereka mencerca teman saya itu? Padahal, jika mereka mau tanya, saya yakin teman saya itu pun nggak suka dengan kekurangannya ini! Kenapa terus dicerca? Kenapa dijauhi? Menularkah?!

Masih banyak sekali contoh lainnya. Bukan teman-teman saya saja yang dapat hadiah cercaan dari mereka, bahkan tukang parkir kampus, dosen, dan dokter yang mengajar pun juga sering kali mendapat cercaan. Ada saja bahan ejekan mereka. Entah mengapa mereka selalu memandang hidup seseorang dari sudut pandang negatif.

Bagaimana dengan saya? Ya, belum pulih dari tekanan sebelumnya, kini saya makin tertekan. Saya menjadi gugup jika di dekat mereka, dan mendadak jadi depresi. Apakah saya tak lepas dari cercaan mereka? Tentu tidak, saya pun tak luput dari cercaan itu, karena kegugupan, fobia, dan depresi saya atas intimidasi mereka. Namun saya percaya, mereka hanya pemeran figuran dalam hidup saya. Hanya numpang lewat dalam cerita hidup saya. Cercaan mereka, akan menjadi cambuk yang membuat saya terus bangkit dan memperbaiki diri. Maka saya punya motivasi tambahan untuk menjadi sukses. Mereka dengan sukarela menghapus dosa pada orang-orang yang telah mereka zalimi. Kenapa terus membicarakan keburukan orang lain, sementara keburukan diri sendiri tak pernah digubris?

Sedangkan mereka yang zalim? Seorang staff di kampus pernah berkata jika siapa saja yang menyusahkan orang lain, pun akan disusahkan hidupnya kelak oleh Tuhan. Barang siapa yang membuka aib orang lain, pun akan dibuka aibnya oleh Tuhan. Tidak ada hijab antara doa orang yang terzalimi dengan Tuhannya. Apakah mereka kira Tuhan akan diam saja melihat orang-orang yang dizalimi? Sungguh saya percaya dan mengamini itu. Maka, jangan bersedih wajah hati.

Mevisari~

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun