Entah ada berapa jenis kalender di bumi ini. Namun setidaknya ada empat jenis kalender yang sering disebut dan dipakai sampai sekarang. Bila diurutkan dari yang tertua, maka urutannya adalah; Kalender Cina, Kalender Maya, Kalender Masehi dan Kalender Hijriah.
Sebagaimana namanya, Kalender Cina adalah kalender masyarakat Tionghoa. Dasar perhitungannya adalah perpaduan perputaran Bulan dan Matahari. Ditemukan pada abad ke-3 SM, kalender ini mengalami beberapa kali perubahan.
Seperti kalender lain, Kalender Cina memiliki 12 bulan dalam setahun. Masing-masing Bulan terdiri dari 29-30 hari. Hanya saja tahun baru pada kalender Cina berbeda setiap tahunnya.
Kalender Cina bukan hanya digunakan untuk menentukan libur nasional atau acara penting lainnya, tetapi juga patokan penentuan sebuah event penting. Seperti kapankah hari baik untuk menikah atau membuka usaha.
Kalender tertua kedua adalah Kalender Maya yang digunakan beberapa komunitas Suku Maya. Menurut Kalender ini, perjalanan waktu terbagi dalam beberapa siklus dengan panjang berbeda. Ada siklus 260 hari yang disebut dengan Tzolkin, juga siklus 365 hari yang disebut Haab.
Karena berasal dari Amerika Tengah, masyarakat Asia kurang familiar dengan Kalender ini. Namun pada tahun 2009, banyak orang mengenal Kalender Maya. Pangkalnya adalah film "2012" garapan Roland Emmerich dengan pemeran utama John Cussack. Film fiksi ilmiah mengenai kiamat yang berdasar penanggalan Kalender Maya akan terjadi pada 21 Desember 2012.
Adapun tertua ketiga adalah Kalender Masehi. Perhitungannya dimulai ketika Dionysius Exiguus, biarawan dari Schthia Minor (Tempat antara Rumania dan Bulgaria) memperkenalkan sistem "Anno Domini." Sering ditulis dengan AD untuk menunjukan kalender Masehi.
"Anno Domini" berasal dari bahasa Latin abad pertengahan. Lengkapnya adalah "Anno Domini Nostri Jesu Christi" artinya"Pada tahun Tuhan kita Yesus Kristus." Penanggalan Kalender Masehi dimulai sejak kelahiran Yesus.Â
Orang Islam Arab sering mencantumkan huruf "Mim" untuk menunjukan kalender Masehi. Inisial dari "Miiladiah" yang berarti kelahiran dan bermakna Kelahiran Nabi Isa.
Dasar perhitungan Kalender Masehi adalah perputaran Matahari. Dalam satu tahun terdiri dari 12 bulan 365 hari. Namun karena waktu perputaran Matahari adalah 365.25 hari, maka setiap empat tahun sekali ada satu hari ditambahkan pada bulan Februari. Supaya satu tahun Masehi genap memiliki 366 hari. Tahun itu disebut sebagai tahun Kabisat.
Adapun kalender termuda adalah Kalender Hijriah. Awal penanggalannya dimulai ketika Nabi Muhammad SAW., hijrah dari Makkah ke Madinah. Kemudian setelah 17 tahun peristiwa Hijrah, Khalifah Umar Bin Khattab, membuat kalender Hijriah.
Waktu itu Khalifah kesulitan mengidentifikasi dokumen-dokumen tidak bertahun. Diperlukan penanggalan yang seragam untuk memudahkan berbagai urusan kenegaraan dan kemasyarakatan.
Bisa dikatakan bila Kalender Hijriah dibuat sebagai bagian dari penataan birokrasi kepemerintahan yang diinisiasi Umar Bin Khattab. Apalagi pada masa Khalifah Umar bin Khattab inilah kekuasaan Islam terus berkembang keluar dari Hijaz sampai masuk Afrika.
Dasar Kalender Hijriah adalah perputaran Bulan. Dalam satu tahun terdiri dari 12 bulan 355 hari. Namun karena waktu perputaran bulan adalah 29.5 hari, setiap tiga tahun sekali ditambahkan satu hari pada bulan Dzulhijjah. Karenanya tahun kabisat dalam Kalender Hijriah terjadi setiap tiga tahun sekali. Â
Bagi orang Islam, dasar teologis penanggalan Kalender terdapat dalam Al-Quran Surah At Taubah ayat 23. "Sesungguhnya hitungan bulan menurut Allah adalah 12 bulan..."
Ayat ini menyebutkan bahwa setahun itu berjumlah 12 bulan. Tidak disebutkan apakah dasar perhitungannya perputaran Matahari atau Bulan. Karenanya apakah orang Islam memakai Kalender Masehi atau Kalender Hijriah, tidak menjadi problem teologis. Masyarakat Arab Saudi yang berpatokan Kalender Hijriah juga menyandingkannya dengan Kalender Masehi.
Perihal Kalender Hijriah ini menarik uraian Almarhum Nurcholish Madjid dalam bukunya "Islam Doktrin dan Peradaban."
Menurut Almarhum, salah satu karakter Kalender Hijriah adalah adanya proses demistifikas. Bahwasannya setiap hari itu semua sama. Seperti terlihat pada penamaan hari. Jumlah hari dalam seminggu dinamai dengan angka. Ahad yang berarti satu, adalah nama untuk hari ke-1. Isnain yang berarti 2, adalah nama untuk hari ke-2 dst. Ketika hari ke-5, diberi nama Jumat yang berasal dari kata Jama'ah atau berkumpul. Karena pada hari itulah orang Islam berkumpul di Masjid untuk mendengarkan Khutbah.
Berdasar urutan hari ini juga kemudian masyarakat Arab Saudi menyusun aktivitas kesehariannya. Bahwa bekerja dimulai pada hari pertama atau Ahad. Sementara libur ada pada hari Jumat dan Sabtu.
Nama-nama hari inilah yang diadaptasi masyarakat Indonesia. Meski berpatokan pada Kalender Masehi, namun orang Indonesia memakai nama hari dari Kalender Hijriah. Kecuali hari Minggu, hari yang lain adalah transliterasi nama hari Kalender Hijriah. Senin dari Isnain, Selasa dari Tsulasa, Rabu dari Ruba' dan Kamis dari Khomis, dst. Â
Mungkin yang menjadi pertanyaan adalah kenapa hitungannya berdasar perputaran Bulan. Bukan perputaran Matahari seperti Kalender Masehi atau gabungan perputaran Matahari dan Bulan sebagaimana Kalender Cina.
Diantara jawaban menarik adalah kaitannya dengan kehidupan masyarakat Arab Pra-Islam. Bahwa bagi masyarakat Arab yang hidup di gurun yang bergantung pada hewan ternak, waktu terbaik menggembalakan ternak adalah adalah malam hari bukan siang hari.
Siang hari bukan hanya waktu yang panas, tapi juga waktu ketika Matahari memancarkan sinar terik dan tajam. Sementara malam bukan hanya waktu suhu turun dan bersahabat, tetapi juga waktu ketika Bulan terlihat indah dengan pantulan cahanya.
Lebih jauh lagi, benda langit yang bisa dilihat dengan mata telanjang oleh orang gurun adalah Bulan, bukan Matahari.
Bila menelaah pendapat mengenai kebiasaan menggembala, terlihat bahwa dasar pendapat ini adalah pembedaan antara Arab Badui dan Arab Hadhari.
Arab Badui adalah masyarakat Arab yang hidup di kampung. Mereka menggantungkan hidupnya dengan beternak. Hidupnya nomaden karena mesti membawa ternak mereka ke daerah dengan curah hujan tinggi atau padang rumput.
Mereka menghidupi dan dihidupi hewan ternaknya. Makan dari dagingnya, minum dari susunya, dan membuat pakaian dari kulitnya. Bila kebutuhan pribadi terpenuhi, mereka akan menjual hewan ternaknya. Hewan ternak adalah kekayaan. Semakin banyak hewan ternak, semakin tinggi derajat sosial mereka.
Adapun Hadhari adalah orang Arab yang tinggal di perkotaan. Mereka hidup di tengah masyarakat yang sudah tertata sistem sosial, ekonomi, politik juga nilai-nilai moralnya. Hadhari terbagi pada dua bagian besar, Al-Hadharah atau penduduk kota, dan Al-Badhiah atau penduduk gurun pasir. Â
Bila merujuk kepada Arab Saudi terkini, penulis masih harus memverifikasi langsung ke lapangan apakah betul orang Arab itu menggembalakan ternaknya di malam hari. Karena yang terlihat justru sebaliknya. Dalam beberapa perjalanan ke Makkah atau Madinah, justru terlihat orang sedang menggembalakan Unta saja di siang hari yang terik.
Namun dalam kehidupan masyarakat Arab, Unta adalah salah satu hewan ternak selain Kambing. Meski Unta adalah hewan ternak utama, harga nominal Unta masih kalah dibanding harga nominal Kambing. Kambing adalah hewan ternak termahal. Disusul Unta, kemudian Sapi. Berkurban dengan Kambing adalah isyarat bahwa berkurban mestilah dengan hewan ternak terbaik yang paling kita sayangi.
Hanya saja bila melihat kehidupan Arab Hadhari terkini, maka ritme kehidupan malam sangat terasa. Suhu Arab yang panas menghalangi orang untuk beraktivitas penuh di siang hari. Bahkan kadang pemerintah mengeluarkan larangan bekerja di luar ruang pada siang hari karena berbahaya. Atau memperpanjang masa liburan sekolah musim panas bila suhu dianggap tidak kondusif untuk belajar.
Sebaliknya, aktivitas di malam hari menjadi lebih panjang. Toko-toko di pusat perbelanjaan mungkin sudah mulai tutup mulai Jam 12 malam. Namun pusat perbelanjaan baru mulai tutup pada pukul 1 dini hari. Sementara pengunjung masih terlihar berkerumun.
Pada esok hari terjadi sebaliknya. Sampai pukul 10 pagi hari, kota seperti mati. Jalanan lebar tapi kosong melompong. Tidak terlihat ada tanda-tanda kehidupan. Pusat perbelanjaan mungkin sudah dibuka pada jam 11 siang, tapi banyak toko belum buka dan belum terlihat ada pengunjung. Utamanya kota-kota diluar Makkah, Madinah, Jeddah dan Riyadh.
Ritme kehidupan malam akan bertambah panjang bila Ramadhan tiba. Karena orang keluar rumah setelah buka puasa lalu kembali menjelang sahur. Lalu usai Ramadhan, ritme biologis tubuh seperti harus di setel ulang. Menyesuaikan dengan pola aktivitas yang biasanya. Â
Begitu juga aktivitas di luar ruang. Menjelang Maghrib, ketika Matahari sudah tidak terlihat, atau setelah waktu Shalat Isya, para pekerja migran dari kawasan Asia Selatan yang biasa mencari tambahan dengan mencuci mobil, mulai bekerja. Sambil membawa air satu ember dan memasang earphone wireless, mereka membersihkan belasan mobil sampai menjelang shalat Shubuh.
Jadi bila kita pulang dari Masjid selesai Shalat Isya dan kembali ke Masjid menjelang shalat Shubuh, kita akan melihat pekerja migran yang menentang ember sedang mengelap mobil. Sepanjang malam tidak kenal lelah bekerja supaya bisa kirim uang ke keluarga nun jauh disana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H