Pada masa Nabi Muhammad saw., Makkah secara fisik adalah Kota dikeliling bukit berbatu keras. Ditambah curah hujan yang rendah serta panas terik matahari, alam bukan hanya terasa panas tapi juga keras.Â
Sementara secara sosial, Makkah ditinggali penduduk yang berkabilah-kabilah (kelompok). Setiap kabilah berkumpul di satu titik. Terpisah dari kabilah lainnya dan saling mengisolasi antara satu sama lainnya.
Di tengah alam yang terasa keras, maka hidup berkabilah adalah hidup yang aman. Apalagi setiap kabilah selalu berusaha memberikan perlindungan bagi anggotanya.
Baca juga;
Ragam bahasa Arab dalam Masyarakat Arab Saudi, Kisah lucu bernegosiasi dengan supir Taksi di Riyadh
Dalam situasi seperti itulah tidak heran bila Guru Besar Sejarah Arab dari Princeton University, Philip K Hitti, menyebutkan bahwa shalat berjamaah adalah perintah sangat revolusioner.
Masyarakat yang terbiasa hidup berkelompok dan saling mengisolasi, tiba-tiba disuruh berkumpul lima kali dalam sehari. Bahkan ketika Nabi Muhammad meninggal pun yang disebut adalah "ummati.." umatku yang bermakna kumpulan semua kabilah atau kelompok.
Shalat Jamaah adalah momen berkumpulnya semua masyarakat. Tanpa melihat status sosial, ekonomi juga asal kabilah.
Baca juga;
Memahami ayat dan hadits anti perbudakan melalui dinamika ketenagakerjaan di Arab Saudi