Bila AlphaGo yang semula selalu kalah tapi akhirnya bisa mengalahkan juara dunia Go, tidak tertutup kemungkinan hal yang sama terjadi dengan ChatGPT. Seiring waktu surat cinta yang dibuat ChatGPT lebih romantis atau menyamai karya manusia.
Hanya saja perbedaan ChatGPT dan AlphaGo adalah pada intensitas pemakain. AlphaGo hanya dipakai segelintir orang di waktu terbatas. Sementara ChatGPT dipakai kebanyakan orang dalam waktu tak terbatas, yaitu komunikasi.
Feedback yang masuk ke sistem ChatGPT lebih massif dan beragam. Karena juga berkaitan dengan aktivitas yang sering dilakukan manusia, ChatGPT pada akhirnya akan mempengaruhi sebagian besar kehidupan manusia.
Instant messaging mungkin merubah pola kita berkomunikasi. Para pengguna lebih akrab dengan orang yang berjarak ratusan kilometer tapi tidak kenal dengan tetangga.
Namun aplikasi tersebut tetap menjadi penghubung antara manusia. Berbeda dengan ChatGPT yang memfasilitas hubungan antara manusia dengan robot.
Meski bisa menghasilkan teks-teks puitis, kita bisa mengatakan bahwa rasa cinta dan kasih sayang bukanlah sesuatu yang bisa diproduksi sebuah algoritma. Cinta dan kasih sayang hanya bisa dihasilkan manusia yang otentik, bukan robot virtual. Namun sebetulnya disinilah permasalahan utamanya.
Meski ChatGPT tidak bisa mengeluarkan rasa cinta dan kasih sayang yang otentik, tapi aplikasi ini bisa membuat orang merasa dicintai dan disayangi. Meski itu palsu.
Sepertinya inilah tantangan terbesar yang akan dihadapi manusia. Bukan hanya menurunnya intensitas komunikasi otentik antar manusia, tetapi manusia akan kerap tertipu karena robot virtual. Merasa dicintai dan disayangi, padahal itu hanya respon robot yang mekanistik.
Dalam kehidupan kita sebagai manusia, maka pada akhirnya intensitas memperkuat kembali ikatan manusiawi yang otentik seperti persaudaraan, kekeluargaan dan persahabatan menjadi sangat penting. Bila lengah, AI mengancam kita dengan relasi yang semu. Berkumpul atau pengajian offline, tidak bisa disebut membuang-buang waktu.
Sementara dalam konteks kebijakan, maka hal ini juga mesti menjadi bahan perhatian. Meski asumsinya berbeda dan mesti ada perubahan mendasar, kita mesti belajar kepada Jepang dengan konsep Society 5.0. Karena tersirat adanya ide untuk membawa perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dengan kebutuhan mendasar manusia. Bukan Industri 4.0 Jerman yang intinya adalah penguatan faktor produksi.
Namun sepertinya di sinilah permasalahannya. Kita bukan hanya mengadopsi Industri 4.0, tapi juga memberikan perhatian lebih kepada buzzer yang gemar membuat polarisasi dan merusak hubungan manusiawi.