Qatar 2022; Menikmati Kembali Siaran Sepakbola Bersama Khalil Al-Bloshi dan Peter Drury
Bagi pendengar Radio dan pemirsa Televisi sepanjang tahun tahun 60-80an, pastinya sangat familiar dengan Sambas Mangundikarta. Orang yang di masa perjuangan menjadikan radio sebagai alat perjuangan, lalu dimasa setelah perjuangan berkarir sebagai pembawa acara di Radio dan Televisi.
Sambas adalah pembawa acara atau komentator pertandingan Bola dan Bulutangkis tidak tergantikan. Bukan hanya memiliki suara bariton yang khas dan enak didengar, Sambas juga pintar memilih kata-kata yang melibatkan emosi pemirsa serta intonasi nya yang pas. Ketika pemain timnas Sepakbola Indonesia gagal mencetak gol, Sambas mengatakannya dengan intonasi kecewa yang otentik.Â
Begitu juga sebaliknya. Ketika gol tercipta, Sambas juga menyampaikan dengan luapan kegembiraan. Sambas bisa membawa siaran Sepakbola dan Bulutangkis lebih hidup. Keceriaan serta kegembiraan di pertandingan, bisa dirasakan oleh pemirsa televisi di rumah.
Konon Sambas bisa melakukan itu karena dia juga melibatkan emosi nya ketika membawa acara. Totalitas. Sambas bukan hanya mendalami siaran yang akan dia bawa, tapi juga mengenal dengan baik pemain-pemain Sepakbola dan Bulutangkis yang acaranya kerap dia bawa. Karena itu ketika TVRI menjadi media baru di Indonesia, Sambas tetap bisa beradaptasi. Acara Dari Desa ke Desa sebagai salah satu acara utama TVRI, bisa dibawakan Sambas dengan baik.
Setelah Sambas, rasanya kita sudah lama tidak lagi mendengar suara penyiar atau komentator yang bisa membawakan siaran bola yang bisa membuat kita meluap-luap lagi. Merasakan atmosfer stadion meski kita berada di rumah atau merasakan segala bentuk kekecewaan dan kegairahan ketika menikmati bola.
Di era tergesernya Radio oleh Televisi pada masa-masa awal, para pecinta bola mungkin masih ingat pada komentator Sepakbola seperti Bung Rayana Djakasuria ketika mengulas Liga Serie Italia.
Sebagai reporter yang tinggal di Italia, Bung Ray bisa memberikan ulasan dan informasi terbaru yang belum sampai ke tanah air. Terlebih ketika itu internet belum menjadi keseharian kita. Kekuatan Bung Ray ada pada ulasan dan informasi terbarunya.
Setelah itu, kita juga akan menemukan komentator-komentator bola yang kekuatan utamanya ada pada pengetahuan taktik dan strategi Sepakbola. Mulai dari bedah formasi tim, sampai dengan karakter pemain Sepakbola seperti apa yang cocok untuk setiap strategi.
Informasi terbaru mengenai kondisi pemain atau tim mungkin dihadirkan. Namun tidak menjadi istimewa seperti era nya Bung Rayana Jakasuria. Karena internet dan media sosial sudah membahas hal itu. Bahkan jauh lebih mendalam.
Akhir-akhir ini ketika Televisi memasuki era digital dan media sosial yang dihidupkan dengan budaya viral, komentator bola menambahkan kebiasaan membuat gimmick. Sepeti istilah jebret atau tendangan cuek. Bahkan dalam banyak hal kerap menghadirkan istilah kontroversial tanpa arti dan berbau melecehkan. Seperti menyebut pelatih miskin taktik padahal pelatih yang dimaksud peraih banyak trophy, berani bertaruh tapi taruhannya salah terus atau mengeluarkan kata-kata yang dianggapnya keren padahal kotor.
Untuk sementara, dunia komentator Sepakbola kita sedang ada di priode ini. Meskipun bila kita lihat analisa Sepakbola yang berbasis tulisan, kita akan menemukan hal yang berbeda.Â
Analisis Sepakbola berbasis dinamika sosial budaya, akhir-akhir ini dipadukan dengan analisa berbasis data. Mungkin karena kita hidup di era big data, maka sangat mudah menemukan analisa berdasar statistik pertandingan sampai pada tingkatan yang lebih detail. Seperti jumlah tendangan dan prosentase penguasaan permainan.
Fenomena tidak adanya Sambas baru yang bisa menghidupkan suasana pertandingan Sepakbola dalam siaran Televisi, mungkin bisa dijelaskan oleh lagu "Video Killed The Radio of Star" yang dirilis pada tahun 1979.
Lagu ini pertama kali dirilis Bruce Wooley dan The Camera Club dalam albumnya English Garden. Popularitas lagu ini tidak berhenti di Bruce Wooley tapi juga dilanjutkan group musik The Baggle dalam album mereka "The Age of Plastic" di akhir tahun yang sama. Terakhir saya pernah melihat lagu ini dinyanyikan kembali oleh group musik "The President of USA" dan dari group musik Amerika inilah saya mendengar lagu ini.
Sebagaimana terbaca dari judulnya, lagu ini menceritakan bagaimana gambar bergerak yang juga berisi suara (Video) telah membunuh bintang Radio. Media komunikasi dan informasi yang hanya mengandalkan suara.
I heard you on the wireless back in Fifty Two. Lying awake intent at tuning in on you.
If I was young it didn't stop you coming through.
Oh-a oh
They took the credit for your second symphony.
Rewritten by machine and new technology,
and now I understand the problems you can see.
Oh-a oh
Begitu paragrap pertama dan kedua yang menceritakan riwayat seorang bintang Radio yang kemudian popularitasnya jatuh. Penyebab jatuhnya ada di paragrahp Ke-4 baris ke-3 "Pictures came and broke your heart." Teknologi gambar bergerak yang ada di Televisi, menggeser popularitas bintang Radio.
Perubahan ini yang sepertinya membuat orang lama tidak menikmati siaran bola ala Sambas. Komentator Bola tidak perlu lagi merangkai diksi dan intonasi untuk menggambarkan kejadian di lapangan. Karena gambar bergerak di Televisi sudah menjadi gambaran utuh di lapangan. Karenanya mereka pun hadir untuk menambah informasi berupa analisa pertandingan juga informasi tim dan pemain yang lebih detail.Â
Memasuki era internet dimana orang bisa memutar ulang setiap tayangan dan budaya viral, komentator hanya butuh statemen kontroversial atau gimmick. Meski tanpa isi dan tanpa makna.
Namun Qatar 2022, sepertinya membawa kita kembali pada masa-masa seperti Sambas. Siaran langsung Sepakbola bukan hanya laporan lapangan yang penuh uraian strategi pelatih dan aksi pemain.Â
Pemilihan diksi, intonasi dan struktur kata seorang komentar, menjadi tambahan tersendiri untuk menikmati siaran bola dari rumah. Meski teknologi terkini sudah memungkinkan untuk menggambarkan situasi lapangan lebih detail dan dari berbagai sudut. Bahkan teknologi VAR terbaru dari FIFA, sudah memungkinkan orang menikmati animasi untuk menjelaskan setiap pelanggaran offside yang dilakukan.Â
Namun diksi dan intonasi yang tepat menjadikan tayangan Sepakbola menjadi lebih hidup. Tidak sedikit orang yang tidak bisa move on dari satu bagian pertandingan dan mengulang-ulang nya lagi untuk dinikmati. Sementara yang dinikmati bukan hanya tayangan gol, tapi cara pemain pemain merayakan selebrasi dan ekspresi penonton ketika sedih dan senang.
Mungkin diantara komentator-komentator Sepakbola yang menghidupkan kembali siaran langsung Sepakbola adalah komentator-komentar dari Arab. Komentator Sepakbola seperti Khalil Al-Bloshi dari Oman menghidupkan siaran bola dengan suaranya yang terdengar sangat bersemangat dan logat serta bahasa Arab yang khas. Suaranya tanpa jeda seperti perenang yang memiliki nafas panjang. Meskipun kita tidak mengerti bahasa yang disampaikan, tetapi kita tetap tertawa dengan segala yang disampaikan.
Mungkin kata-kata yang paling kita ingat adalah ketika dia berucap "Ya Allah, Ya Allah, Ya Allah" ketika melihat aksi pemain pemain yang menakjubkan. Atau komentator Arab lain yang berdendang ketika kamera mengarah ke penonton perempuan yang berpakaian seksi dalam waktu cukup lama.
Hal yang paling diingat tentunya ketika Arab Saudi mengalahkan Argentina dengan skor 2-0. Gol Ke-2 Arab Saudi yang menandakan kemenangan atas Argentina, dikomentari Al-Bloshi dengan kalimat "Al mustahiil... Almustahil...." Tidak sedikit yang mengulang-ulang momen itu bukan karena ingin melihat gol nya, tapi gol beserta komentator nya.
Komentator Sepakbola lain yang mesti disebutkan karena telah menghidupkan siaran langsung Sepakbola adalah Peter Drury. Komentator Liga Inggris yang kerap mengeluarkan kalimat-kalimat puitis yang membuat orang tertawa dan tertegun. Seperti juga komentator Al-Bloshi yang kerap diulang-ulang, tidak sedikit yang mengulang-ulang sebuah tayangan karena ingin mendengarkan kembali komentar Drury.
Fans Argentina pasti masih ingat ketika idola mereka Messi akhirnya bisa mencetak gol. Setelah sebelumnya Argentina dipermalukan Arab Saudi, goal Messi ke gawang Mexico dikomentari Drury dengan kalimat "That's what they came for; THE MAGIC MAN...One more Messi moments and Argentina is alive".
Tentunya komentar ikonik dari Peter Drury yang tidak bisa dilupakan adalah ketika Drury mengomentari gol Ke-2 Maroko atas Belgia. Meski sudah unggul 1-0, Drury memberikan komentar menghidupkan bagi goal penutup Maroko ini.Â
Sambil mengiringi luapan kegembiraan penonton dan selebrasi pemain Maroko, Drury berkomentar "Marrocon Maynhem. Drink it in Casablanca. Relish it in Rabat. This is your night..."Sing it from the top of the Atlas Mountains. All aboard the Marrakech Express."
Komentator-komentator Sepakbola ini mengingatkan kalau tayangan Sepakbola itu pada akhirnya tidak bisa dinikmati dengan hanya mengandalkan teknologi saja. Spesifikasi televisi tercanggih sangat menunjang kita untuk menikmati Sepakbola, itu tidak cukup. Perlu ada sentuhan manusiawi untuk menikmati Sepakbola. High Tech, High Touch.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H