Penamaan Socrates sendiri bukan merujuk kepada filosof Yunani mashur Socrates. Socrates Award merujuk kepada legenda Kapten Timnas Brasil, Socrates. Gelandang Brasil ini tidak hanya menjadikan Sepakbola sebagai ajang untuk meraih trofi, tapi Sepakbola sebagai alat untuk membela orang-orang miskin dan terpinggirkan yang mudah ditemukan di Brasil.
Sebagai orang Afrika yang bermain untuk klub-klub Eropa dan dinobatkan sebagai penerima Socrates Award, Mane pasti sangat menyadari dan merasakan betapa timpang dan perihnya kehidupan. Superioritas Eropa atas Afrika begitu sangat terasa.
Namun malam ini, superioritas dan ketimpangan itu hilang. Belgia bukan hanya simbol kedigdayaan Sepakbola Eropa, tapi juga simbol reputasi Eropa. Karena Belgia bukan hanya memiliki timnas Sepakbola yang kuat, Â tapi di Brussel Belgia lah Uni-Eropa berkantor. Bagi Mane, malam ini adalah malamnya orang Afrika. Kehidupan yang pedih, timpang dan kadang menyakitkan, dipupus habis oleh Ziyech dkk. Belgia pemilik ranking 2 FIFA, dikalahkan 2 gol tanpa balas oleh Maroko pemilik ranking 22 FIFA. Orang Afrika juga bisa bahagia dan bahagianya melebihi orang Eropa yang bergelimang kemewahan.
Namun sepertinya bukan hanya Sadio Mane yang merasakan itu. Mane tidak hanya sedang membicarakan Afrika, tapi juga kita semua dalam melihat Sepakbola. Olahraga paling mashur di jagat raya ini, kerap .enjadi saluran katarsis dari semua kerumitan dan kekacauan yang mesti dihadapi. Piala Dunia dengan Sepakbola nya, menunjukan sisi manis kehidupan di tengah sisi pahit kehidupan. Meski yang manis itu terjadinya jauh disana di Qatar, dan yang pahit adanya di depan mata kita.
Qatar 2022 memang memunculkan kerumitan bagaimana seharusnya berinteraksi dan berkomunikasi antara orang berbeda pandangan, kultur dan negara. Namun isyunya berkaitan dengan hal yang sering memaksa kita untuk belajar memahami supaya muncul solusi yang lebih kreatif untuk memahamkan semua pihak. Seperti isyu LGBTQ, Palestina, Israel atau minuman beralkohol. Lalu apa yang kita harapkan dari kerumitan interaksi dan komunikasi di negeri sendiri ketika diksi politik yang dimunculkan adalah "BAB" dan "Korengan".
Meski dituding identik dengan kerusuhan supporter, Didier Drogba kapten timnas Pantai Gading berhasil menghentikan perang saudara berkepanjangan di negaranya dengan Sepakbola. Wilayah Utara Pantai Gadang yang didominasi muslim, berdamai dengan wilayah Selatan Pantai Gading yang didominasi Kristen. Didier Drogba membuat mereka berdamai dengan cara lolos ke Piala Dunia, lalu mengajak semua temen-temennya berlutut didepan televisi sambil memohon mereka untuk meletakan senjata.
Disini, negara yang terbebas dari perang saudara, politisi nya mengajak lawannya yang masih satu negara untuk perang.
Makanya, mari nikmati dahulu Piala Dunia. Mari nikmati dulu keceriaan Sepakbola. Meskipun itu hanya untuk hari ini. Seperti kata Mane "We're all Morocco Today". Gembiralah seperti orang Maroko, meskipun hanya untuk hari ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H