Keberangkatan penduduk Madinah ini pun sampai ke Makkah. Keberangkatan yang membuat elite Makkah berada dalam posisi yang sangat dilematis.
Para pembesar Makkah seperti Abu Sufyan dan Abu Jahal gamang menghadapi rombongan Nabi Muhammad ini. Sesuai tradisi yang sudah berjalan, mereka mempunyai kewajiban untuk melindungi dan melayani siapapun yang hendak datang ke Makkah untuk beribadah. Termasuk figur seperti Nabi Muhammad saw dan rombongan Madinah. Tidak melindungi apalagi memerangi mereka, akan menimbulkan kemarahan bagi seluruh kabilah-kabilah di Jazirah Arab. Sesuatu yang sangat berbahaya bagi mereka.
Hanya saja kali ini yang datang adalah Nabi Muhammad dan penduduk Madinah. Musuh nomor satu Makkah yang sudah mereka usir. Semua penduduk di Jazirah Arab mengetahui permusuhan antar keduanya. Bila Abu Sofyan dkk membiarkan Nabi Muhammad melenggang begitu saja memasuki Makkah, maka citra dan reputasi Makkah akan jatuh. Abu Sofyan dkk dianggap tidak mempunyai nyali menghadapi Madinah.
Penghargaan terhadap tradisi yang bercampur dengan pemujaan terhadap reputasi dan citra, membuat Makkah kebingungan dan gamang.
Untuk mengatasi kegamangan ini, maka Makkah pun membuat solusi alternatif. Karena Nabi Muhammad saw, tetap merupakan musuh nomor satu, maka kedatangan mereka mesti tetap harus dihalangi. Namun karena kesucian Makkah tetap harus dijaga, upaya menghambatnya dilakukan diluar Makkah. Artinya, perang terhadap Madinah tetap harus terjadi. Hanya semua dilakukan diluar kota suci Makkah.
Maka dikirimlah pasukan dibawah komando Khalid bin Walid dan putra Abu Jahal, Ikrimah, keluar kota Makkah. Tugas utama pasukan ini adalah menghadang rombongan Nabi diluar Makkah.
Nabi dan para sahabat pun mencium manuver Makkah yang akan mengajak mereka berperang. Karena komitmennya adalah menghindari peperangan, maka ketika dari jauh terlihat rombongan pasukan Khalid bin Walid mendekat, Nabi menginstruksikan rombongan untuk membelokan rute perjalanan. Keluar dari jalur yang biasa untuk menghindari peperangan, sambil tetap mencari jalan menuju Makkah.
Sampai pada suatu tempat bernama Hudaibiyyah, sekitar 22 KM arah Barat Daya Makkah, Unta tunggangan Nabi tiba-tiba berhenti dan duduk. Semula para sahabat memaksa Qushwa, nama Unta tunggangan Nabi, untuk terus berjalan. Namun Nabi Muhammad mencegahnya. Menurut Nabi, Qushwa berhenti di tempat tersebut bukan atas keinginannya sendiri tapi karena perintah dari Yang Maha. Karenanya Nabi Muhammad pun memerintahkan para sahabat untuk mendirikan tenda di tempat itu.
Di tempat bernama Hudaibiyyah itulah negosiasi antara Makkah dan Madinah berlangsung. Makkah dan Madinah saling mengirimkan utusan untuk bernegosiasi. Utsman bin Affan dikenal sebagai utusan Nabi ke Mekkah untuk bernegosiasi.
Setelah saling mengirimkan utusan dan negosiasi keduanya berjalan alot, akhirnya di Hudaibiyah pun terjadi negosiasi akhir. Mewakili pihak Makkah, Suhail bin Amar mendatangi Nabi Muhammad di Hudaibiyyah untuk bernegosiasi.
Secara umum, negosiasi antar Makkah dan Madinah berjalan lancar. Di Hudaibiyah, Nabi Muhammad dan Suhail bin Amar menandatangi sebuah kesepakatan yang di kemudian hari dinamakan dengan perjanjian Hudaibiyyah.