Suatu waktu, Nabi Muhammad bermimpi. Dalam mimpinya, Nabi Muhammad bersama para sahabat memasuki kota Makkah dan Masjidil Haram, mengambil kunci Ka'bah dan melaksanakan Umrah. Meski para pembesar kota Mekkah dikenal suka melakukan terror kepada Nabi Muhammad dan sahabat, namun dalam mimpi itu ditunjukan bahwa Nabi Muhammad dan para rombongan melakukan semuanya dengan aman dan tanpa gangguan.
Nabi pun menceritakan mimpinya kepada sahabat. Sambil memberikan tafsir. Bahwa mereka akan ke Mekkah untuk melaksanakan Umrah. Lalu Nabi pun mengajak sahabat-sahabatnya untuk berangkat ke Mekkah.
Mimpi, tafsir atas mimpi dan ajakan Nabi Muhammad tentunya sangat menggembirakan para sahabat. Bagi penduduk asli Madinah, ajakan ini berarti bagian dari proses memahami Islam secara lebih utuh. Disamping mengunjungi tempat yang sangat sakral bagi masyarakat Jazirah Arab pada waktu itu. Sementara bagi orang Makkah yang mengikuti Nabi hijrah ke Madinah, ajakan tersebut tentunya mempunyai nilai tambah tersendiri. Selain ingin melaksanakan Umrah, mereka juga ingin mengunjungi kampung halaman tempat kelahiran setelah 6 tahun mukim di Madinah.
Namun kerisauan tetap saja menghinggapi para sahabat. Meskipun niat mereka adalah berziarah, semuanya sadar bahwa penduduk Makkah sebagai penjaga dan pelayan penziarah, tidak akan menjaga dan melayani mereka sebagaimana biasanya. Para pembesar Makkah pastinya akan menganggap mereka sebagai musuh ketimbang sebagai penziarah.
Karenanya pada waktu itu muncul lah kontroversi. Tentang bagaimana seharusnya berziarah ke tanah suci di tengah permusuhan yang ditunjukan Makkah.
Di satu sisi, ada pendapat yang menyarankan untuk berziarah ke tanah suci sebagaimana biasanya. Hanya membawa hewan kurban dan tidak membawa senjata. Karena membawa senjata ke tanah suci dan memicu peperangan, adalah pelanggaran.
Namun ada juga pendapat yang bersebrangan. Selain membawa hewan kurban, rombongan ke Makkah mesti dilengkapi persenjataan. Berdasar pengalaman, para pengusul pendapat ini pesimis bahwa pembesar Makkah akan memperlakukan mereka sebagai penziarah dan menjalankan kewajiban mereka sebagai pelindung dan pelayan para penziarah. Para pengusul yakin, bahwa Makkah akan kembali memerangi mereka karenanya mereka mesti bersiap-siap.
Di tengah pertentangan yang diametral ini, Nabi pun mengeluarkan jalan tengah. Menurut Nabi, niat suci untuk berziarah ke Makkah mesti tetap dijaga. Tidak boleh ada peperangan dan pertumpahan darah ketika berziarah ke Makkah. Karenanya rombongan hanya diperbolehkan membawa hewan kurban, bukan peralatan perang.
Hanya saja Nabi Muhammad juga memperbolehkan benda-benda tajam seperti pisau atau pedang kecil untuk dibawa serta. Namun semua benda tajam itu bukan dipakai untuk berperang. Pisau atau pedang kecil dibawa sebagai bekal perjalanan Umroh ke Makkah. Karena selain harus menyembelih hewan kurban, para rombongan juga mesti membabat ilalang ketika membuat tenda-tenda untuk beristirahat.
Setelah diterima semua pihak, maka berangkatlah rombongan dari Madinah untuk berziarah ke tanah suci. Langsung dibawah pimpinan Nabi Muhammad SAW.