Saya tidak begitu faham dengan tekhnis graphis. Dulu diantara pelajaran yang kerap tidak saya ikuti dengan baik itu adalah pelajaran Khatul Arabi. Menulis indah huruf Arab. Belajar dan tugasnya tidak berat. Tiap pertemuan hanya menulis satu huruf hijaiyyah. Tapi membuatnya satu jam pelajaran penuh di kertas berlembar-lembar. Detail tebal, tipis, sudut lancip, sudut tampul mesti terlihat jelas. Begitu juga ketika kuliah. Komunikasi Visual adalah mata kuliah yang sering membuat saya bengong. Bingung dan tidak tahu bagaimana seharusnya mencampur warna yang benar. Kaget juga ketika diberi tahu ada warna bernama Magenta. Selama ini tahu nya hanya warna-warna yang ada di lagu tentang pelangi saja.
Belajar Khat dan Komunikasi Visual itu bukan hanya butuh kecerdasan estetis, tapi juga kesabaran. Einstein sekalipun belum tentu bisa mengikutinya.
Cuma agak mengerti sedikit ketika mengkaitkan sebuah karya visual dengan situasi sosial politik kemasyarakatan. Memahami motif Nicolaas Pienaman dan Raden Saleh ketika melukis Pangeran Diponegoro. Meski objek nya sama-sama Pangeran Diponegoro, Pienaman memberi judul lukisannya "Penyerahan Diri Diponegoro" dimana Pasukan Diponegoro terlihat seperti sudah menyerahkan senjata. Sementara Raden Saleh memberi judul lukisannya "Penangkapan Pangeran Diponegoro" dimana pasukan Diponegoro tidak terlihat sedang memegang senjata.
Narasi lanjutannya pun bisa dimengerti. Seperti Raden Saleh yang Alawiyyin itu meniatkan perlawanan terhadap kolonialisme Belanda ketika membuat lukisan Pangeran Diponegoro. Bukan melukis hanya untuk menyalurkan citra seninya. Bisa mengerti ketika Presiden Soekarno membawa dan memasang lukisan tersebut di Istana negara, sampai dengan sejarawan yang menyarankan supaya Raden Saleh ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Hal yang mungkin sulit difahami oleh beberapa kalangan sekarang. Karena Raden Shaleh hanya terlihat duduk dan melukis. Tidak mengangkat senjata seperti Jendral Sudirman atau aktif melakukan lobby politik seperti Haji Agus Salim.
Jadi design graphis Halal terbaru dari Kemenag itu bukan hanya mudah difahami sebagai sebuah ekspresi politik, tapi juga bukan sesuatu hal yang baru. Dulu zaman kemerdekaan juga begitu. Hanya saja karya visual dulu digunakan untuk melawan penjajahan.
Karena itu yang menjadi pertanyaan itu bukan apakah design Halal Kemenag itu Jawanisasi atau bukan, tapi apa tujuan design graphis itu. Apakah design graphis itu sebagai tanda (sign) atau simbol. Karena dalam praktis, keduanya berbeda.
Proses membuat tanda itu sesuatu yang simple, tidak ribet. Unsur utamanya adalah mudah dibaca dan difahami. Supaya lebih berkesan atau lebih enak difahami, ditambah dengan unsur estetika. Bila tanda nya berupa huruf, maka type font nya harus tepat. Bila tanda nya berupa gambar atau warna, maka bentuk garis atau kombinasi warna juga harus tepat.
Untuk membuat tanda bahwa mobil mau belok ke kanan atau ke kiri, pabrikan mobil cukup menyediakan lampu sen (sign) di sebelah kiri dan kanan. Kalau pengemudi mau belok kiri, dia tinggal menyalakan lampu sen sebelah kiri, bila belok kanan maka lampu sen sebelah kanan yang dinyalakan. Kenapa warna lampunya kuning, itu kesepakatan saja. Tidak ada landasan filosofisnya. Seperti ketika Pemerintah Orde Baru membuat Golkar dengan warna kuning yang bermakna kemuliaan.
Untuk membuat tanda bahwa seseorang sudah memasuki wilayah Bandung, Pemda Bandung cukup memasang plang "Selamat Datang di Bandung". Bila dikemudian hari plang tersebut rusak dan huruf "B" nya hilang, orang tidak akan pernah membaca nya menjadi Cirebon atau Aceh.
Tetapi simbol itu berbeda. Proses nya rumit tidak sesederhana tanda. Karena itu adalah representasi institusi. Karakter dan tujuan institusi, mesti tergambar dari simbol tersebut. Bila itu simbol perusahaan, maka budaya dan misi perusahaan mesti tergambar. Bila itu simbol sebuah daerah, pembuatnya mesti tahu sejarah dan dinamika kemasyarakatan daerah tersebut.
Pabrikan mobil seperti Honda pasti tidak kesulitan untuk membuat lampu sen. Tapi mereka butuh biaya yang besar untuk menjadikan H sebagai simbol Perusahaan. Didalam simbol H itu, ada banyak makna yang mau digambarkan ke publik. Meski Publik juga tidak sepenuhnya akan paham dengan makna yang dimaksud.
Begitu juga dengan Pemda Kota Bandung. Membuat simbol Kota Bandung itu tidak sesederhana membuat tanda Kota Bandung. Orang tidak hanya harus tahu sejarah dan dinamika masyarakat Bandung, tapi juga tujuan pembuatan symbol itu. Kalau ingin mengingatkan bahwa orang Bandung itu heroik dan sanggup berkorban, simbol nya bisa pake Bandung Lautan Api. Bila ingin mengajak orang Bandung untuk santai, ceria tapi tetap smart, simbol nya bisa pakai si Kabayan. Kalau ingin menggambarkan Bandung itu isinya orang sakti mandraguna, maka bisa gambar Sangkuriang. Orang yang bisa membuat gunung terbalik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H