Mungkin disamping orientasi ideologi, ras, agama atau kepentingan politik, faktor kedekatan inilah yang juga membuat Barat menjadi memiliki standard ganda terhadap Ukraina dan Syiria.
Karenanya Barat atau Eropa pada akhirnya tidak sedang peduli dengan Ukraina, tetapi sedang peduli dan risau dengan dirinya sendiri. Barat tidak sedang mengkhawatirkan korban perang Ukraina, tetapi khawatir mereka akan menjadi korban dari Perang yang terjadi di Ukraina. Karena bila mereka memang sangat concern terhadap peperangan, respon yang sama mestinya dimunculkan terhadap apa yang terjadi di Palestina.
Karena manusia pada akhirnya makhluk egois. Dia adalah orang yang selalu memperhatikan kebaikan bagi dirinya sendiri. Bahkan ketika menerapkan laku altruisme, manusia kerap mengharapkan dan mempertanyakan balasan bagi dirinya.
Ketika faktor kedekatan ini menjadi perhatian, mungkin dari sini juga akan terjadi "saling tuding" antara dunia Barat dan dunia Islam. Ketika dunia Islam mengecam dunia Barat karena tidak peduli terhadap kasus Palestina atau Yaman, mungkin kecaman serupa juga bisa diajukan kepada dunia Islam. Misalnya, kenapa dunia Islam mesti menggugat kepedulian Barat terhadap Ukraina.Â
Bagaimana pun perang itu keputusan kepala negara yang tidak pernah melibatkan rakyatnya sementara yang paling kena imbas karena perang adalah rakyat. Karena dalam konteks kemanusiaan, apa yang dialami anak-anak kecil di Palestina juga sama dialami oleh anak-anak kecil di Ukraina. Mereka sama-sama mendertia. Mereka adalah korban perang yang sama sekali tidak pernah ditanya ketika perang dilaksanakan.
Mungkin dari sinilah kita bisa memahami hikayat-hikayat kenabian atau great hero. Bahwa salah satu keagungan Nabi-nabi atau kehebatan para pahlawan bukan terletak pada kegagahan dan kecerdasannya saja, tapi juga kepada konsistensinya. Problem terberat bagi para Nabi atau para Great Hero bukan pada menghadapi ketangguhan lawan, tapi mencoba konsiten menjalankan apa yang diyakini dan diucapkan.
Seperti Ali bin Abi Thalib yang dikenal mahir memainkan pedang sehingga membuat Umayyah jerih. Namun titik menakjubkan pada Ali adalah ketika dia bersedia maju ke persidangan demi membuktian bahwa pedang yang dipegang orang Yahudi adalah pedang miliknya.
Atau juga seperti Umar bin Khattab yang mengirim pasukan ke Jerusallem untuk mengambil alih Baitul Aqsa dengan wanti-wanti pada pasukannya untuk tidak menghancurkan rumah Ibadah dan menganggu orang-orang yang sedang beribadah. Etika perang yang berapa ratus tahun berikutnya disepakati di Geneva Eropa dan menjadi konvensi Geneva.
Kehebatan seorang Umar bukanlah pada kemampuannya memotivasi pasukan sehingga bisa menaklukan Jerusallem dengan damai, tapi pada inisiatif Umar untuk tidak shalat di Gereja Jerusallem. Karena menurut Umar, bila dia Shalat di tempat itu maka orang Islam setelahnya akan menghancurkan Gereja-gereja. Â
Bersikap konsisten seperti itu, bukan hal yang ringan. Sangat berat. Tidak cukup bermodalkan kecerdasan dan kekuata, tapi membutuhka lebih dari itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H