Mohon tunggu...
Delianur
Delianur Mohon Tunggu... Penulis - a Journey

a Journey

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Anti Vaksin dan Etika Komunikasi Scholar Menurut Quran

1 Februari 2022   17:44 Diperbarui: 1 Februari 2022   19:29 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepertinya kemampuan membaca Matematika yang tidak begitu menggembirakan ini, bertautan dengan kebiasaan menulis notasi Matematika dan memahaminya. 

Dalam kehidupan sehari-hari, sepertinya kita lebih familiar dengan notasi 90% ketimbang notasi 0.9. Dua notasi yang berbeda tapi bernilai namun kesan yang dihasilkan berbeda. 

Kesan yang dihasilkan penulisan 90% dibanding 0.9 seperti berbedanya impresi perempaun mendengar harga tas "Hanya setengah juta" dengan "Harga Rp 500.000". Meski bernilai sama, tapi karena menghasilkan kesan berbeda, ada orang membeli tas tersebut karena merasa berbeda harga.

Namun kekeliruan masyarakat dalam menilai Sains sepertinya tidak bisa dianggap sebagai faktor kesalahan masyarakat semata. Selain karena tanggung jawab terbesar pelaksanaan pendidikan ada pada negara, para sarjana yang banyak berkaitan dengan angka dan Matematika memberikan pendidikan yang keliru pada masyarakat. 

Ketika Demokrasi elektoral yang menstimuli tumbuhnya pollster secara massif, masyarakat dihadapkan dengan berseliwerannya survei politik yang sarat dengan probabilitas.

Pada pemilu lalu, tentunya kita masih ingat sebuah lembaga survei yang berdasar survei-survei yang telah dilakukan, maka dia mengatakan dengan yakin dan percaya diri bahwa esok yang akan terpilih pasti si A. Pasti, bukan mudah-mudahan.

Kalkulasi nya benar karena sesuai dengan kenyataan. Esok hari yang terpilih adalah orang yang sudah dia sebutkan. Hanya saja pernyataan tersebut hanya benar secara politis. Setidaknya menunjukan bahwa survei yang dilakukannya sesuai dengan kenyataan. 

Namun bila kita kembali kepada rumusan Matematika sebelumnya, pernyataan tersebut menjadi bermasalah secara keilmuan. Karena Sains tidak pernah mutlak-mutlakan dalam memberikan prediksi. Apalagi bila pernyataan itu dilihat secara etik komunikasi seorang sarjana.

Al-Quran sendiri mempunyai petunjuk yang sangat menarik ketika menyinggung etika komunikasi para sarjana. Bila Da'wah adalah komunikasi yang dilakukan oleh orang yang berpengetahuan, surat An-Nahl ayat 125 kerap dibahas para penda'i sebagai rujukan bagi mereka ketika berdialog dengan masyarakat. 

Ayat tersebut disebutkan "Serulah ke Jalan Allah dengan hikmah dan contoh yang baik (mauidhah hasanah) dan bantahlah mereka dengan cara yang baik (Jadilhum billatii hiya ahsan)"

Ada tiga kata kunci cara berbicara yang bisa kita garis bawahi dari ayat diatas, yaitu "Hikmah", "Mauidhah Hasanah" (contoh yang baik) dan "Jadilhum billatii hiya ahsan" (adu argumen dengan cara yang baik).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun