Di Indonesia sendiri hari-hari terakhir ini kita mendengar munculnya permintaan maaf dari para pengambil kebijakan terkait penanganan virus corona. Komunikasi politik yang secara tidak langsung ingin menunjukan kekeliruan terhadap langkah yang sudah diambil. Namun gesture politik para pengambil kebijakan pada dasarnya masih seperti Permadi. Hal itu bisa kita lihat dari politik anggaran ataupun strategi mitigasi yang diambil.
Sehingga di tengah pandemi ini kita melihat yang sangat ironis. Para tenaga kesehatan yang kerap disebut sebagai garda terdepan pengendalian wabah, tapi insentif mereka yang sudah bekerja menantang maut tidak kunjung turun. Rumah Sakit yang menjadi sarana paling vital untuk menangani covid, bukan hanya dituding telah mengcovidkan pasien tapi juga tidak kunjung mendapat pembayaran dari pemerintah. Belum lagi ditambah dengan jumlah test dan tracing yang masih sangat rendah dan tidak sesuai dengan proporsi yang disarankan epidimologists.Â
Namun pada dasarnya arogansi menghadapi wabah ini tanpa terasa bukan hanya menjadi monopoli pengambil kebijakan. Meski mungkin tidak seluruhnya, virus arogansi menghadapi wabah ini juga seperti menjelar ke masyarakat. Meski bukan seluruh masyarakat.
Dalam masyarakat yang dikenal sangat familiar dan menjunjung tinggi Agama, tanpa terasa arogansi keagamaan muncul. Tidak sedikit agamawan dan juga masyarakat yang selama ini memegang teguh nilai-nilai Agama, merasa sudah bisa menghadapi virus hanya karena tidak pernah absen menjalankan ritual keagamaan dan sehari-hari nya sangat lekat dengan kehidupan keagamaan.
Jadi bila politisi menganggap virus tidak akan menyentuh peserta kegaiatan politik sehingga Pilkada di masa pandemi tetap dilanjutkan, maka para agamawan seolah beranggapan bila virus tidak akan menyengat orang yang sedang beribadah. Bila yang pertama mengungkap dalil-dalil konstitusi sebagai legitimasi, maka yang kedua mengungkapkan dalil-dalil kitab suci sebagai pembenar. Namun keduanya mempunyai pola yang sama; minusnya pendalaman dari segala dalil yang diungkap tapi kuatnya nuansa arogansi.
Tidak sedikit Agamawan yang berkesimpulan bahwa beribadah adalah kartu pass melewati bahaya Covid. Menutup mata terhadap data banyaknya Agamawan dan orang-orang yang taat beribadah yang juga terpapar dan meninggal karena Covid. Lebih dari itu, banyak ayat dan hadits di introdusir untuk menguatkan pemahaman tersebut.
Agama sendiri memang berkali-kali mengingatkan umatnya untuk tidak takut mati. Hanya saja tidak takut mati itu berbeda dengan mencari mati. Agama memerintahkan yang pertama, tapi tidak yang kedua. Sebab hidup adalah anugrah. Karenanya dalam Agama salah satu dosa terbesar adalah orang yang mencabut nyawanya sendiri. Agama juga memang mengajarkan orang untuk ziarah kubur. Tapi ini bukan ajaran untuk menyuruh orang mencari mati. Sebaliknya, ziarah kubur adalah upaya mengingatkan manusia untuk menghargai kehidupan dengan memperhatikan kematian.
Tidak cukup sampai disini, pada titik ekstrem lain tanpa sadar virus arogansi juga muncul ketika orang sudah merasa aman dikarenakan sudah mengikuti semua prosedur menghadapi wabah yang sudah diwartakan para ahli. Dikarenakan sudah mengikuti semua protokol kesehatan yang sudah teruji secara ilmiah, tanpa sadar orang menjadi arogan bisa menghindari wabah karena upaya yang sudah dia lakukan.
Faktanya setelah kita wabah ini berjalan hampir dua tahun, ternyata tidak seperti itu. Bila para dokter mengingatkan pentingnya badan yang segar bugar dan fit sebagai perisai menghadapi virus, ternyata tidak sedikit olahragawan yang terpapar dan meninggal karena Covid-19. Kita juga dengan mudah mendapat berita tentang para pesohor yang sudah dengan sangat ketat menerapkan protokol kesehatan tapi tetap saja terjangkit virus membahayakan ini.
Tanpa terasa virus arogansi, bahwa orang akan selamat karena upayanya untuk menghindarkan diri dari paparan virus, muncul pada diri banyak orang. Arogansi ini melupakan bahwa hidup manusia tidak hanya ditentukan oleh faktor-faktor yang sangat fisikal saja.
Dalam riwayat umat Islam sendiri, silang pendapat seperti ini pernah muncul ketika para filosof dan mistikus muslim berdebat perihal hukum sebab akibat. Dalam pandangan filosof muslim seperti Al-Farabi atau Ibn Rusyd, sebab akibat adalah sebuah hukum kehidupan yang sangat rasional dan fisikal. Seperti orang akan sakit bila dia tidak menjaga kesehatan atau dan orang akan kenyang bila dia makan cukup. Karena para filosof muslim ini kerap mengemukakan pemikiran Aristoteles sebagai rujukannya, pandangan hukum sebab akibat tersebut bisa kita lacak dari pemikiran Aristoteles yang memilah dengan sangat detail hukum sebab akibat.