Mohon tunggu...
Delianur
Delianur Mohon Tunggu... Penulis - a Journey

a Journey

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kopi dan Wakaf

28 Januari 2021   20:18 Diperbarui: 28 Januari 2021   20:26 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kopi dan Gerakan Wakaf


Beberapa waktu lalu saya beli sebuah novel tentang Kopi. Judulnya Babad Kopi Parahyangan. Novel jilid pertama dari rencana trilogi novel yang mau ditulis Evi Sri Rezeki. Novel yang menurut review yang saya baca, adalah bacaan yang berbasis riset. Bukan hanya imajinasi dan fiksi belaka.

Saya sendiri belum membaca novel nya. Buku nya masih tergeletak belum dibuka, terinterupsi beberapa pekerjaan lain yang mesti diselesaikan.

Hanya saja, berdasar beberapa info sekilas yang saya Googling, awal Kopi di Indonesia itu dibawa pemerintah kolonial Belanda sekitar tahun 1830an. Setelah melakukan banyak riset dan penjajagan, Belanda berkesimpulan bahwa area terbaik untuk menanam Kopi di Indonesia adalah di Gunung Malabar, Pangalengan, Kab Bandung. Tempat saya ngopi sekarang. Tanah dan ketinggiannya cocok untuk ditanami Kopi.

Dari daerah inilah konon kemudian, Kopi menyebar kemana-mana. Kopi bukan hanya menyebar ditanam ke daerah lain, tapi biji Kopi dari Indonesia pun menyebar ke luar negeri. Seperti juga Teh, Kopi dari Indonesia disukai masyarakat Eropa dan menjadi minuman premium.

Tapi namanya juga pemerintah kolonial, maksud mereka menanam Kopi di Indonesia bukan untuk memakmurkan orang Indonesia, tapi karena Belanda lagi bangkrut. Perlawanan spartan dan tanpa henti rakyat Indonesia melawan kolonialisme Belanda, seperti Perang Aceh, Perang Diponegoro, atau Perang Paderi, memaksa Belanda merogoh kocek lebih dalam untuk membiayai militer. Akibatnya kas negara pun krisis.

Menghadapi kas Belanda yang krisis itu, Johannes Van Den Bosch yang ditugaskan pemerintah Belanda untuk menjadi Gubernur di Hindia Belanda, mengeluarkan ide program Cultuurstelsel. Waktu itu sering diterjemahkan sebagai sistem kultivasi atau sistem budidaya. Karena memang Belanda membawa tanaman baru untuk di budidayakan di Indonesia.

Tapi orang Indonesia lebih senang menyebutnya sebagai sistem tanam paksa. Karena waktu itu, Van Den Bosch mewajibkan setiap desa menyisihkan 20% tanahnya untuk ditanami komoditi eksport terutama Kopi, Teh, Tebu dan Nila. Semua hasil tanaman itu, mesti dijual ke pemerintah kolonial Belanda dengan harga yang sudah ditentukan Belanda. Adapun bagi masyarakat desa yang tidak memiliki tanah, maka mereka harus bekerja 75 hari dalam setahun di kebun-kebun milik pemerintah kolonial Belanda dan menjadi kompensasi pembayaran pajak.

Lanjutan dari cerita tanam paksa ini sudah kita ketahui bersama. Tanah yang harus disisihkan lebih dari 20% dan penduduk mesti bekerja lebih dari 75 hari dalam setahun tanpa upah. Ujungnya bagi orang Indonesia adalah kemiskinan dan kesengsaraan. Sementara bagi Belanda adalah kemakmuran. Karena keuangan Belanda kembali gemuk setelah program tanam paksa.

Jadi begitulah diantara riwayat Kopi. Seperti juga Teh, Kopi adalah minuman premium yang digemari masyarakat dunia. Bersama Teh, Gula dan Nila, Kopi sudah menyelamatkan ekonomi Belanda yang sedang tekor.

Meski ekonomi Belanda kembali sehat dan kuat, namun perlawanan terhadap kolonialisme Belanda terus dilancarkan orang Indonesia. Namun orang Indonesia tidak mempunyai kekuatan materiil seperti orang Belanda yang mempunyai benih Kopi dan Teh untuk diperdagangkan. Orang Indonesia bukan hanya belum tahu perdagangan global, tapi juga tidak tahu komoditi global.

Mungkin kekuatan dominan orang Indonesia ketika itu adalah kekuatan immaterial. Orang Indonesia hanya punya hasrat dan motivasi untuk melepaskan diri dari penjajahan. 

Diantara gerakan untuk melepaskan diri dari kolonialisme Belanda dengan basis kekuatan immaterial, orang Indonesia pun menggencarkan gerakan wakaf nasional. Mulai dari elite nya, sampai dengan rakyatnya. Kedua golongan ini, sama-sama mewakafkan diri mereka untuk lepas dari kolonialisme Belanda.

Berdasarkan gerakan nasional mewakafkan diri itulah muncul nama seperti Tjokroaminoto. Seorang tokoh yang keliling Indonesia untuk mengobarkan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda. Bila Tjokroaminoto mengunjungi sebuah daerah, tokoh ini tidak tidur di sebuah penginapan, tapi kemana-mana membawa tenda. Dimana dia harus istirahat, disitulah tenda didirikan.

Ada juga partner nya yang sama-sama mewakafkan diri untuk kemerdekaan Indonesia, yaitu Haji Agus Salim. Saking totalnya melaksanakan gerakan wakaf nasional, pria berjenggot ini mengartikan berkuasa sebagai memimpin dan memimpin itu berarti menderita. "Leiden is Lijden". Begitu kata Agus Salim.

Gerakan wakaf nasional bukan hanya dilakukan elite nya, tapi juga masyarakat Indonesia.

Ketika Soekarno-Hatta berjibaku mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan membutuhkan pesawat untuk memperjuangkannya, masyarakat Aceh pun mewakafkan uang nya untuk membeli pesawat. Maka munculah Dakota RI -001 sebagai hasil wakaf nasional orang Aceh.

Hal yang sama juga terjadi di Jawa Barat. Dalam rangka mempertahankan eksistensi dan menjaga NKRI, sekitar 200.000 lebih orang Bandung mewakafkan rumahnya untuk dibakar dan mereka mengungsi. Mereka tidak rela rumah dan kampung halamannya dijadikan markas Belanda yang waktu itu ingin kembali menguasai Indonesia dan menjadikan Bandung sebagai pangkalan militer. Menjadikan Bandung Lautan Api, lebih baik daripada Bandung pusat militer Belanda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun