Kopi dan Gerakan Wakaf
Beberapa waktu lalu saya beli sebuah novel tentang Kopi. Judulnya Babad Kopi Parahyangan. Novel jilid pertama dari rencana trilogi novel yang mau ditulis Evi Sri Rezeki. Novel yang menurut review yang saya baca, adalah bacaan yang berbasis riset. Bukan hanya imajinasi dan fiksi belaka.
Saya sendiri belum membaca novel nya. Buku nya masih tergeletak belum dibuka, terinterupsi beberapa pekerjaan lain yang mesti diselesaikan.
Hanya saja, berdasar beberapa info sekilas yang saya Googling, awal Kopi di Indonesia itu dibawa pemerintah kolonial Belanda sekitar tahun 1830an. Setelah melakukan banyak riset dan penjajagan, Belanda berkesimpulan bahwa area terbaik untuk menanam Kopi di Indonesia adalah di Gunung Malabar, Pangalengan, Kab Bandung. Tempat saya ngopi sekarang. Tanah dan ketinggiannya cocok untuk ditanami Kopi.
Dari daerah inilah konon kemudian, Kopi menyebar kemana-mana. Kopi bukan hanya menyebar ditanam ke daerah lain, tapi biji Kopi dari Indonesia pun menyebar ke luar negeri. Seperti juga Teh, Kopi dari Indonesia disukai masyarakat Eropa dan menjadi minuman premium.
Tapi namanya juga pemerintah kolonial, maksud mereka menanam Kopi di Indonesia bukan untuk memakmurkan orang Indonesia, tapi karena Belanda lagi bangkrut. Perlawanan spartan dan tanpa henti rakyat Indonesia melawan kolonialisme Belanda, seperti Perang Aceh, Perang Diponegoro, atau Perang Paderi, memaksa Belanda merogoh kocek lebih dalam untuk membiayai militer. Akibatnya kas negara pun krisis.
Menghadapi kas Belanda yang krisis itu, Johannes Van Den Bosch yang ditugaskan pemerintah Belanda untuk menjadi Gubernur di Hindia Belanda, mengeluarkan ide program Cultuurstelsel. Waktu itu sering diterjemahkan sebagai sistem kultivasi atau sistem budidaya. Karena memang Belanda membawa tanaman baru untuk di budidayakan di Indonesia.
Tapi orang Indonesia lebih senang menyebutnya sebagai sistem tanam paksa. Karena waktu itu, Van Den Bosch mewajibkan setiap desa menyisihkan 20% tanahnya untuk ditanami komoditi eksport terutama Kopi, Teh, Tebu dan Nila. Semua hasil tanaman itu, mesti dijual ke pemerintah kolonial Belanda dengan harga yang sudah ditentukan Belanda. Adapun bagi masyarakat desa yang tidak memiliki tanah, maka mereka harus bekerja 75 hari dalam setahun di kebun-kebun milik pemerintah kolonial Belanda dan menjadi kompensasi pembayaran pajak.
Lanjutan dari cerita tanam paksa ini sudah kita ketahui bersama. Tanah yang harus disisihkan lebih dari 20% dan penduduk mesti bekerja lebih dari 75 hari dalam setahun tanpa upah. Ujungnya bagi orang Indonesia adalah kemiskinan dan kesengsaraan. Sementara bagi Belanda adalah kemakmuran. Karena keuangan Belanda kembali gemuk setelah program tanam paksa.
Jadi begitulah diantara riwayat Kopi. Seperti juga Teh, Kopi adalah minuman premium yang digemari masyarakat dunia. Bersama Teh, Gula dan Nila, Kopi sudah menyelamatkan ekonomi Belanda yang sedang tekor.
Meski ekonomi Belanda kembali sehat dan kuat, namun perlawanan terhadap kolonialisme Belanda terus dilancarkan orang Indonesia. Namun orang Indonesia tidak mempunyai kekuatan materiil seperti orang Belanda yang mempunyai benih Kopi dan Teh untuk diperdagangkan. Orang Indonesia bukan hanya belum tahu perdagangan global, tapi juga tidak tahu komoditi global.