Mohon tunggu...
Delianur
Delianur Mohon Tunggu... Penulis - a Journey

a Journey

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

"Anak dan Kemenakan", Masalah Indonesia yang Berulang

24 Oktober 2020   13:17 Diperbarui: 27 Oktober 2020   04:25 765
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Dokumentasi pribadi

"Anak Dan Kemenakan" adalah novel karya Marah Rusli. Diterbitkan pertama kali oleh Balai Pustaka pada tahun pada tahun 1956 atau 34 tahun setelah Balai Pustaka menerbitkan karya Marah Rusli yang menjadi legenda sampai sekarang; Sitti Nurbaya Kasih Tak Sampai. 

Novel "Anak Dan Kemenakan" ini sudah diterbitkan kembali oleh Balai Pustaka Mei tahun ini, 2020.

Balai Pustaka sendiri adalah perusahaan percetakan dan penerbitan milik negara. Pertama kali didirikan oleh Pemerintah kolonial Belanda, 15 Agustus 1908, dengan nama Commissie voor de Inlansche School en Volkslectuur atau Komisi untuk Bacaan Rakyat. Didirikan Belanda sebagai bagian dari politik etis dalam bidang pendidikan untuk memperkuat daya literasi masyarakat melalui bacaan-bacaan yang berkualitas.

Namun karena Balai Pustaka ini didirikan pemerintah kolonial Belanda, maka yang dimaksud dengan bacaan bermutu pastinya bacaan yang sesuai dengan kepentingan Belanda. 

Tidak heran bila dalam banyak novel yang diterbitkan Balai Pustaka masa pra-kemerdekaan, tidak ada yang menggugat kekejaman penjajahan. Atau pada sisi lain kita akan membaca beberapa novel yang mengungkit kolonialisme Belanda. 

Namun secara samar sehingga membutuhkan kejelian untuk menangkapnya. Karena itulah siasat yang dipakai para penulisnya untuk lolos sensor.

Sementara Marah Rusli adalah salah satu tokoh sastra generasi Balai Pustaka. Novel pertamanya berjudul "Sitti Nurbaya Kasih Tak Sampai" bukan hanya mendapat penghargaan pemerintah Indonesia pada tahun 1969, atau 47 tahun setelah pertama kali diterbitkan pada tahun 1922, tapi juga sudah menjadi ikon sastra Indonesia. Banyak orang menyebut-nyebut nama Sitti Nurbaya meski tidak pernah membaca novel nya.

Marah Rusli sendiri adalah sastrawan keturunan bangsawan Istana Pagaruyung yang lahir di Padang Sumatra Barat pada 7 Agustus 1889. Silsilah dari pihak Ibu nya, bersambung ke Sentot Alibasyah. 

Seorang Panglima Perang kepercayaan Pangeran Diponegoro. Meski dikenal sebagai sastrawan, keseharian Marah Rusli adalah seorang pegawai Dinas Pertanian. Marah adalah dokter hewan lulusan Vee Arsten School (Sekolah Dokter Hewan) Bogor atau IPB sekarang.

Karena lahir dan besar di Sumatra Barat, maka kebanyakan novel-novel Marah Rusli selalu berlatar budaya Minangkabau. Kecuali mungkin "La Hami'. Novel yang berlatar budaya masyarakat dan tradisi Sumbawa.

Karena Marah pernah bertugas di Sumbawa dan "La Hami" ditulis berdasar kesan mendalam nya ketika di Sumbawa. Atau novel Memang Jodoh yang selain berlatar situasi di Sumatra Barat, tetapi juga menceritakan kehidupan di Bogor. Karena selain Marah dimakamkan di Bogor, novel ini juga menceritakan masa-masa ketika Marah di Bogor.

Sebagaimana novel "Sitti Nurbaya" dan novel "Memang Jodoh", "Anak Dan Kemenakan"juga novel Marah yang mengkritisi tradisi masyarakat Minangkabau. Dalam hal ini Marah melihat adanya relasi yang keliru antara seorang ayah terhadap anak kandung nya sendiri dan terhadap kemenakan (keponakan).

Sebagaimana diketahui, dalam masyarakat Minangkabau seorang Ayah bukan hanya mempunyai tanggung jawab untuk mendidik dan membesarkan anak kandungnya sendiri, tetapi juga mempunyai kewajiban untuk mendidik dan membesarkan keponakannya. Kemampuannya dalam mendidik keponakan, akan menggambarkan seberapa besar citra dirinya. 

Keponakan yang sukses, mencitrakan paman yang sukses mendidiknya. Begitu juga sebaliknya Kewajiban ini tergambar dalam ungkapan adat yang berbunyi "Anak Dipangku Keponakan Dibimbing"

Namun Marah melihat ada kekeliruan dalam masyarakat. Kewajiban adat untuk mendidik keponakan, menjadikan seorang Ayah lebih memprioritaskan perhatian kepada keponakannya ketimbang kepada anak kandungnya sendiri. 

Marah menggambarkan secara ekstrem tentang bagaimana seorang Ayah yang membunuh anak nya demi melindungi keponakannya.

Padahal menurut Marah, frasa "Anak Dipangku Keponakan Dibimbing" menyiratkan bahwa seorang Ayah itu lebih dekat ke anaknya, karena dipangku, bukan kepada keponakannya, karena dia dibimbing. Ada perbedaan jarak ketika seorang Ayah memangku dan membimbing.

Bila "Anak Dan Kemenakan" kita baca sampai di sini, maka kita akan melihat novel ini tidak lebih dari hikayat problematika masyarakat Minangkabau. Tidak lebih dari itu. 

Foto: Dokumentasi pribadi
Foto: Dokumentasi pribadi
Akan sangat berbeda bila kita melihatnya sampai akhir dan membaca dinamika yang berkembang sekarang. Kita akan melihat bahwa apa yang diungkap Marah, pada dasarnya juga terjadi sekarang. Bukan hanya masalah masyarakat Minangkabau masa dahulu, tapi masalah Indonesia sekarang.

Misalnya, dalam novel ini Marah menunjukan implikasi sangat serius dari masyaraat yang melegitimasi seorang Ayah yang meminggirkan anaknya dami keponakannya. 

Situasi ini bukan hanya menyebabkan orang tua yang semena-mena dalam melihat keluarga dan pernikahan, tetapi terpinggirkannya seorang anak yang berpotensi untuk membangun negerinya. 

Karena adat dan masyarakat tidak memberikan ruang yang luas kepada dirinya untuk berkarya membangun negerinya, padahal dia sangat mempunyai kapasitas untuk itu, jadinya sang anak pergi ke negeri lain untuk mengembangkan potensinya.

Dalam "Anak Dan Kemenakan", Marah menggambarkan situasi ini pada diri seorang Mr. Yatim. Seorang anak muda yang disekolahkan orang tuanya sampai ke Eropa untuk belajar Hukum dan menjadi Mister Dokter hukum pertama di Minangkabau. 

Namun Mr. Yatim memutuskan untuk pergi dari negerinya karena situasinya tidak memungkinkan dia membangun negerinya.

Berdasar kondisi ini, dr. Aziz yang menjadi sahabat Yatim, mengingatkan orang tua kalau kaum tua tidak mau berubah sikapnya dalam melihat adat dan kaum muda, maka negeri ini tidak akan maju-maju. Karena orang yang berwawasan dan berpotensi, justri pergi ke tanah orang lain. Bukan berbakti di negerinya sendiri.

Situasi yang diungkap Marah, mau tidak mau akan mengingatkan kepada situasi yang kita hadapi sekarang ini. Indonesia banya memiliki orang berpotensi, namun karena tidak mempunya ruang untuk berkarya dan lebih dihargai diluar, maka mereka memutuskan untuk pergi berkarya diluar.

Dalam dinamika sosial ekonomi, lembaga negeri pemberi beasiswa, LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan), kerap memberitakan tentang penerima beasiswa yang sudah disekolahkan diluar negeri, tidak mau kembali lagi ke Indonesia untuk mengabdi. 

Mereka lebih suka menetap diluar negeri karena dianggap bisa hidup lebih makmur dan lebih sejahtera dibanding hidup di Indonesia. 

Permasalahannya, kita tidak pernah tahu berapa perbandingan antara orang Indonesia yang memutuskan berkarya di luar negeri karena motif ekonomi dan orang berkarya diluar negeri karena tidak adanya ruang untuk mengembangkan kemampuan dirinya.

Bahkan mungkin pertanyaannya bisa diperluas lagi. Bila memang motif di luar negeri karena masalah ekonomi, lalu ekonomi dalam skala apakah yang mereka kejar?

Apakah dalam skala survival, seperti yang dijalani oleh para TKI kita, atau memang kehidupan ekonomi untuk bermewah-mewahan?Berapakah perbandingan antar keduanya?Lalu berapa banyak juga orang yang memutuskan yang memutuskan tinggal diluar negeri karena problem politik?

Begitu juga dalam dunia politik. Dalam politik elektoral berbasis liberalisme politik, kesempatan besar meraih posisi puncak kekuasaan hanya bisa dimiliki oleh orang yang mempunyai uang dan kekuasaan saja. 

Masalahnya, orang-orang seperti itu prosentasenya sedikit dan kerap tidak mempunyai kapasitas. Sehingga ketika memimpin, bukan hanya ucapannya saja yang membingungkan banyak orang, tetapi kebijakannya pun sulit diterima dan dicerna. Situasi makin rumit manakala oligarki yang dikhawatirka banyak orang, makin menggurita.

"Anak Dan Kemenakan", seperti memperlihatkan masalah kita yang terus berputar dan membesar dan serasa tidak ada penyelesaian. Membaca "Anak dan Kemenakan" 47 tahun setelah diteribtkan pertama kali, seperti melihat masalah Indonesia yang terus berulang. Bukan lagi masalah masyarakat Minangkabau pada awal tahun 1990an.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun