Destiny (Al Massir) : Ibn Rusyd dan Pergolakan Politik Pada Masanya
Ibn Rusyd, dikenal Barat dengan Averroes, adalah salah satu pemikir dari Andalusia Spanyol yang hidup pada 1126-1198 M. Seorang Hakim dan dokter Istana pada masa Khalifah Muwahidun. Dikenal sebagai seorang yang sangat menguasai dan memperkenalkan filsafat Aristoteles ke kalangan dunia Islam khususnya dan Barat umumnya.
Karena mempunyai kemampuan memahami, mengkomentari dan menyampaikan pemikiran-pemikiran Aristoteles dengan baik, Ibn Rusyd dijuluki "The Great Commentator".Â
Aristoteles sendiri memang dianggap mempunyai pemikiran yang sangat sulit difahami. Selain karena Aristoteles tidak pernah menulis buku khusus untuk menguraikan pemikiran-pemikirannya, buku-buku yang beredar hanyalah catatan kuliah dari murid-muridnya. Terlebih pemikiran yang disampaikan Aristoteles cenderung hal-hal yang material dan kategories sehingga sangat kaku dan membosankan ketika ditulis. Bukan tema yang bisa disampaikan secara naratif.
Film Destiny (Arab: Al Massir) adalah film yang mengambil salah satu penggalan kehidupan Ibn Rusyd atau Averroes. Film hasil kerjasama Mesir-Prancis ini, mulai dipublikasikan pada tahun 1997 dan sempat disiarkan di festival film Cannes di tahun yang sama. Destiny tidak hanya mengurai sekilas karakter pemikiran Ibn Rusyd, tapi juga karakter orang yang menolak pemikirannya serta penyebarannya ke Barat.
Sayangnya Destiny melewatkan "Scientific Temper" yang menjadi karakter Ibn Rusyd. Karena meski dikenal sebagai pengkritik pemikiran orang lain, Ibn Rusyd dikenal sebagai pribadi yang tidak pernah menyerang kepribadian orang lain atau mengeluarkan kata-kata yang meremehkan pemikiran orang lain. Sebuah sikap yang jarang kita temukan di intelektual masa kini.
Untuk menggambarkan pengaruh dan efek pemikiran Ibn Rusyd, mungkin bisa dilihat dari dua adegan utama di menit-menit awal Destiny.
Pada adegan pertama, Destiny dibuka dengan adegan seorang lelaki yang sedang digusur seorang penunggang kuda di Prancis. Setelah digusur berkeliling, lelaki yang sudah berdarah-darah tersebut berdiri dan diikat dengan dikelilingi kayu bakar.Â
Di sela-sela kayu bakar, terselip buku-buku berbahasa Arab dengan judul-judul yang berkaitan dengan Aristoteles. Lalu keluarlah para Pendeta beserta Raja dan diikuti seseorang membacakan keputusan. Isinya mendakwa lelaki yang di tengah kayu bakar, untuk dibakar hidup-hidup. Karena dia telah menyimpan dan menyebarkan ajaran sesat. Dia dibakar beserta buku-buku yang dia baca dan sebarkan itu.
Di sela-sela pelaksanaan hukum bakar hidup-hidup tersebut, terlihat seorang pemuda membimbing istri korban untuk melihat pelaksanaan hukum tersebut. Lalu bertiga bersama ayahnya, anak muda bersama Joseph tersebut melarikan diri. Namun di tengah jalan si perempuan tidak bisa melanjutkan perjalanan. Orang tua tersebut akhirnya menyuruh si anak muda untuk pergi ke Andalusia, Spanyol, untuk menemui seorang bernama Averroes.
Joseph sendiri selain mendapat perlindungan keluarga Ibn Rusyd dan diperlakukan selayaknya anak sendiri, juga ikut melindungi buku-buku Ibn Rusyd dari orang-orang yang tidak menyetujui dan ingin membakarnya. Di kemudian hari, Joseph bahkan meminta izin kepada Ibn Rusyd untuk membawa buku-buku itu ke tanah kelahirannya di Prancis. Menurut Joseph, pemikiran Ibn Rusyd mesti diketahui oleh orang-orang di tanah kelahirannya supaya mereka mengenal humanism.