Dalam novel terbitan Balai Pustaka, problem Indonesia adalah adat yang membelenggu sementara kolonialisme Belanda seperti tidak menjadi permasalahan. Bila kolonialisme Belanda ditampilkan, hadirnya kerap sumir dan sering dianggap solusi ketimbang problem. Seperti tokoh Syamsul Bachri dalam novel Sitti Nurbaya yang kembali ke kampung halamannya untuk mentertibkan kehidupan disana. Padahal waktu itu Syamsul Bachri mendapat tugas dari pemerintah kolonial Belanda yang terganggu dengan perlawanan masyarakat Sumatra Barat yang menolak penambahan pajak.
Balai Pustaka tidak menerbitkan novel-novel seperti Student Hidjo karya Mas Marco Kartodikromo, Hikayat Kadiroen karya Semaoen atau mempublikasikan Max Havelaar karya Multatuli yang sangat populer. Karena bagaimana pun novel-novel diatas adalah novel yang mengugat pemerintah kolonial Belanda yang menjadi biang kemunduran Indonesia.
Namun meski kelemahan Balai Pustaka lebih berorientasi mengkritik adat ketimbang mengkritik pemerintah kolonial Belanda sebagai penyebab kemunduran, justru pada titik inilah terurai lebih dalam faktor-faktor sosial budaya penyebab kemunduran. Penulis-penulis Balai Pustaka seperti mengurai lebih dalam dinamika masyarakat Indonesia yang dianggap berkontribusi terhadap kemunduran.
Sebagaimana roman "Sitti Nurbaya" atau "Salah Asuhan" yang mengkritik dinamika sosial budaya yang berkontribusi terhadap kemunduran, begitu juga novel "Salah Pilih". Berbeda dengan novel "Katak Hendak Menjadi Lembu" yang menjadikan landskap tanah Priangan, dalam "Salah Pilih" Nur St. Iskandar memakai landskap Minangkabau tempat kelahirannya, untuk mengkritik adat. Nur St. Iskandar mengurai sisi sosial budaya di tempat kelahirannya yang menurutnya mesti diubah. Bila tidak diubah, maka tanah kelahirannya dipastikan akan tertinggal.
Namun "Salah Pilih" tidak seperti "Salah Asuhan" yang menggambarkan Hanafi, tokoh utamanya, sebagai orang yang bertentangan dengan adat. Namun karena motif nya kebebasan juga menganggap enteng adat, hidupnya pun pada akhirnya berakhir tragis. "Salah Pilih" juga tidak seperti "Sitti Nurbaya" yang menggambarkan konflik dengan adat yang mesti "Sad Ending" dan berujung keterusiran dari kampung halaman.
Dalam "Salah Pilih" konflik dengan adat tidak berarti menganggap remeh adat dan meremehkan para pemangku adat. Meski tidak setuju, adat dengan para pemangku nya adalah orang-orang yang mesti dihadapi dengan baik. Konflik dengan adat juga tidak selalu berakhir konflik tanpa ujung dan berakibat keterusiran.
Bertentangan dengan adat dalam "Salah Pilih" pada akhirnya berakhir dengan kerjasama. Adat dengan cara yang baik dan terhormat meminta para penentang adat yang sudah mempermalukan Asri dan Asnah yang sudah mempermalukan mereka, untuk kembali ke kampung halaman. Bukan hanya untuk menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, tetapi juga menjadi penghulu adat. Memimpin masyarakat untuk melanjutkan upaya-upaya memajukan masyarakat yang sudah dibangun sebelumnya oleh Asri.
Dalam tipikal orang seperti Asri yang memperkenalkan pembaharuan terhadap adat inilah kita bisa memahami perihal segala konsep perubahan yang diperkenalkan orang sekarang. Bahwa segala macam gagasan kontroversial yang dianggap akan memajukan masyarakat, akan ditolak masyarakat selama pengusulnya dianggap tidak menunjukan perilaku yang baik atau tidak berkontribusi apa-apa terhadap masyarakat. Jadi gagasan progresif seperti Islam Liberal dan lain-lain, pada akhirnya hanya akan menjadi kontroversi belaka selagi penggagasnya mempunyai track record buruk dan tidak mempunyai kontribusi apa-apa untuk masyarakat kebanyakan.
Dalam konteks ini juga novel "Salah Pilih" lah yang mestinya populer di masyarakat. Karena pertentangan dengan adat dan kebiasaan, berakhir dengan kerjasama. Asri yang menentang adat, berkerjasama dengan adat untuk membangun masyarakat. Bukan seperti novel "Sitti Nurbaya" dimana pertentangan dengan adat hanya berujung dengan kesedihan. Penentang adat meninggal dan masyarakat ditinggalkan tokoh progressif.
Atau jangan-jangan para penentang adat di Indonesia memang tidak mau seperti Asri. Hanya ingin memperkenalkan ide-ide baru saja. Tapi tidak mau berlelah-lelah menata perilaku dan turun langsung ke masyarakat? Karena bagaimanapun mengeluarkan ide baru itu lebih mudah ketimbang menata perilaku dan turun langsung ke masyarakat. Hanya cukup dengan update status media sosial saja.