Di sebuah pulau terasing di gugusan Samudra Hindia yang dilintasi garis khatulistiwa, hiduplah seorang bernama Hayy. Entah dari mana asalnya, Hayy hidup di pulau yang jauh dari keramaian sendirian. Di pulau yang tumbuh pohon kelapa dan pala itu, temannya Hayy hanyalah tumbuhan, binatang, pasir dan laut. Tidak ada yang lain. Hayy hidup tanpa orang tua dan dipelihara oleh seekor Rusa.
Untuk menjalani hidup, Hayy belajar seperti yang diperlihatkan lingkungannya. Bila lapar dan hendak makan, Hayy  memetik buah-buahan dan memakannya. Ketika hewan mencari tempat berteduh ketika hujan, Hayy pun menirunya. Begitu juga ketika berpakaian. Manakala melihat binatang memiliki ekor yang dipakai untuk menutupi kemaluannya, Hayy pun memakai celana untuk menutupi auratnya. Begitu seterusnya. Hayy belajar hidup dari makhluk sekitarnya.
Hanya saja hidup ternyata bukan hanya masalah pangan dan papan saja. Suatu hari Hayy kebingungan dengan fenomena kematian. Hayy termenung ketika Rusa yang memeliharanya mati. Hayy bertanya-tanya kenapa Rusa yang jasadnya masih utuh tidak lagi bergerak seperti biasanya. Pasti ada sesuatu yang hilang yang membuat Rusa tidak bergerak lagi. Hal tersebut itu mestinya non-material karena seluruh jasad yang bersifat material masih lengkap. Non-material itu juga yang menurut Hayy menggerakan tubuh si Rusa.
Setelah termenung melihat fenomena yang terjadi di bumi, Hayy pun menengadahkan kepalanya. Mencerna fenomena di langit. Ketika menengadahkan kepalanya Hayy kembali termenung. Melihat gugusan bintang, langit yang seperti tanpa atap dan pergerakan matahari dan bulan. Menurut Hayy bila melihat apa yang terjadi di langit, mesti ada sesuatu yang mengatur semuanya. Karena bila tidak ada yang mengatur, maka tidak akan terjadi harmoni di langit. Penggerak benda-benda di langit itu pastinya non-materi. Karena bila dia materi, pasti membutuhkan lagi penggerak yang menggerakan.
Penggerak langit itu mestinya sesuatu yang mesti ada atau wajibul wujud. Hayy yang terus memikirkan hal ini berkesimpulan bahwa wajibul wujud mesti sesuatu Yang Maha dan bukan materi. Dia pasti Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Hayy sangat ingin menemui Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang itu.
Hayy pun terobsesi untuk mendekati Yang Maha dan melakukan berbagai macam cara untuk mendekati-Nya. Karena Yang Maha ini bukan materi, maka menurut Hayy dia juga harus mengesampingkan materi dalam proses pendekatannya. Seperti ketika Hayy melakukan gerakan berputar meniru gerakan bintang di langit. Gerakan mirip Thawaf dan juga gerakan tarian Rumi. Karena dengan gerakan berputar seperti itu, jasad atau materi kita jadi tersisih. Orang akan lupa pada jasad yang menyelubungi dirinya ketika dia berputar-putar.
Itulah sekelimut cerita dalam roman filsafat berjudul Hayy bin Yaqzhan karangan filosof muslim Ibn Thufail. Dikenal di Barat dengan nama Aben Tofail atau Ebn Tophail.
Hayy sendiri berarti Hidup sementara Yaqzhan berarti Bangun. Nama ini metaforik dari Ibn Thufail bahwa banyak manusia yang hidup tapi tidak bangun. Dia beraktivitas sehari-hari seperti biasanya, tetapi tidak tahu arahnya dan maunya kemana. Sebaliknya ada juga orang yang sudah bangun tapi tidak hidup. Dia sudah tahu hidup mesti seperti apa, tapi diam tidak melakukan apa-apa.
Sebelumnya nama Hayy bin Yaqzhan  juga dipakai Ibnu Sina untuk sebagai salah satu judul salah satu roman yang dia tulis. Namun dengan alur cerita berbeda. Dalam novel Ibn Sina disebutkan tentang Ibnu Sina yang bertemu dengan Hayy yang sangat bijak. Ibnu Sina yang terpukau dengan Hayy, meminta supaya dirinya bisa mengikuti kemenapun Hayy pergi. Namun ditolak karena menurut Hayy, Ibnu Sina tidak bisa ikut dirinya karena dia tidak bisa meninggalkan teman-temannya.
Dalam kajian filsafat bulanan di Masjid Jendral Soedirman Yogyakarta, pengkaji Filsafat Islam dari UIN Sunan Kalijaga, Dr. Fahruddin Faiz, M.Ag, mengatakan bahwa ungkapan Ibn Sina itu adalah metaforik tentang akal aktif Hayy, rasionalime Ibn Sina dan kemampuan inderawi teman-teman Ibnu Sina. Bahwa selama manusia masih terikat dengan hal-hal indrawi yang ditunjukan teman-teman Ibnu Sina, maka dia tidak bisa mengikuti akal aktif yang ditunjukan Hayy.
Sementara dalam roman karanga Ibn Thufail, Hayy bin Yaqzhan adalah metaforik tahapan berpikir manusia yang berawal sangat empirik (mencerna apa yang bisa dilihat dan diraba), bergerak ke rasional sampai akhirnya naik menjadi sangat intuitif.