Normalisasi Bencana dan Wabah Indonesia
Berkaitan dengan bencana, orang Indonesia mempunyai masalah dengan mitagasi bencana. Bila dibandingkan dengan Jepang misalnya. Early warning system bencana di Indonesia, sering tidak berfungsi. Masyarakat juga tidak dilatih menghadapi menghadapi bencana. Tidak ada simulasi atau pembelajaran ke anak-anak apa yang harus dilakukan bila gempa bumi datang.
Namun orang Indonesia, mempunyai daya adaptif yang sangat tinggi bila berhadapan dengan bencana. Ketika Tsunami atau Gempa melanda, banyak orang Indonesia kembali lagi ke kampungnya yang menjadi lokasi bencana, untuk memulai hidup baru. Bahkan ketika Tsunami 2004, satu atau dua tahun kemudian banyak diantara mereka yang menikah lagi dengan pasangan baru, untuk memulai hidup baru. Padahal banyak diantaranya yang masih tinggal di pengungsian. Hal berbeda terjadi di Jepang. Ketika Tsunami melanda Jepang tahun 2011, tingkat bunuh diri naik sampai 20%.
Sepertinya karena daya adaptif orang Indonesia terhadap bencana begitu luar biasa, maka titik inilah yang dieksploitasi pemerintah Indonesia dalam menghadapi Covid-19 ini. Pemerintah terus menerus kampanye tentang "New Normal" dan "Adaptasi Keadaan Baru". Padahal kalau permasalahan masyarakat adalah di mitigasi bukan di adaptasi, semestinya sektor mitigasi terhadap wabah inilah yang mesti dibenahi pemerintah, bukan sektor adaptasi nya. Karena sisi adaptasi, itu sudah terbiasa dilakukan orang Indonesia.
Bila menyinggung mitigasi pemerintah terhadap bencana, adalah hal yang menarik untuk melihat komunikasi mitigasi bencana pemerintah.
Sebagaimana diketahui, ketika pandemi Corona masuk ke Indonesia pada masa awal, respon pejabat Indonesia adalah antara meremehkan dan denial. Mengatakan bahwa tidak ada kasus virus Corona yang masuk ke Indonesia, semua akan baik-baik saja karena virus akan mati dengan sendirinya, tidak usah khawatir dengan Corona karena fatality rate nya hanya 2 % saja dan lain sebagainya.
Komunikasi mitigasi seperti ini, ternyata tidak jauh berbeda dengan komunikasi mitigasi pemerintah kolonial Belanda ketika wabah Flu Spanyol masuk Indonesia. Ketika Flu Spanyol masuk Indonesia tahun 1918, komunikasi mitigasi pemerintah kolonial tidak jauh berbeda dengan komunikasi mitigasi sekarang. Mengatakan tidak ada apa-apa, semuanya baik-baik saja dan jumlah korban sedikit dan lain sebagainya. Padahal menurut catatan, Spanish Fly yang masuk ke Indonesia telah merenggut nyawa 4 Juta orang di Jawa dan Madura. Sebuah angka yang sangat tinggi bila dibandingkan dengan populasi Indonesia pada awal abad 20.
Namun penanganan bencana di Indonesia memang masalah yang kompleks. Bukan hanya berkaitan dengan pemerintah yang suka menyembunyikan angka korban yang sesungguhnya, tapi juga perilaku pengusaha, scientist juga para jurnalistnya.
Ketika wabah flu burung masuk Indonesia misalnya. Pengumuman datangnya wabah ini ditunda sekian lama. Wabah baru diumumkan ketika beritanya sudah membesar dan mendatangkan banyak korban. Ini ternyata karena ada lobby dari pebisnis ternak kelas kakap kepada pemerintah untuk tidak mengumumkan. Karena bila diumumkan akan menimbulkan kepanikan dan konsumsi terhadap telur dan ayam akan menurun. Ekonomi peternak kelas kakap akan terganggu kalau wabah ini dibuka apa adanya. Jadi kalau sekarang disebut bahwa wabah Corona akan menganggu ekonomi, pertanyaannya ekonomi siapa?
Problem juga ada pada diri scientist. Budaya feodal, telah menempatkan scientist dibawah kendali penguasa. Di banyak negara, ketika wabah datang, posisi scientist adalah didepan untuk menentukan langkah apa yang harus dilakukan. Sementara di Indonesia, posisi scientist terbalik. Tugasnya bukan memberikan arahan apa yang harus dilakukan pemerintah tapi memberikan evidenced based tentang apa yang sudah dilakukan pemerinyah.
Problem di dunia jurnalistik juga tidak kalah akut. Narasumber podcast ini adalah jurnalis senior yang mengkhususkan diri peliputan bidang bencana. Narasumber adalah penulis buku "Jurnalisme Bencana dan Bencana Jurnalisme". Buku ini tidak hanya menggambarkan jurnalistik berlaku disaat bencana terjadi, tapi juga praktek penyimpangan jurnalistik yang mendatangkan bencana. Praktek-praktek mengeksploitasi perasaan korban untuk meningkatkan rating atau clickbait untuk menaikan view dan mendapat iklan, kerap dilakukan wartawan di masa-masa bencana.
Akar dari praktek jurnalistik seperti ini, sepertinya berasal dari tradisi jurnalistik di Indonesia. Di negara lain, prestasi tertinggi para jurnalis adalah ketika mereka bisa menulis buku terhadap bidang jurnalistik yang mereka tekuni. Karena para jurnalis banyak yang secara khusus menangani satu bidang. Seperti jurnalistik bencana, jurnalistik perang, jurnalistik hubungan internasional dll. Sementara di Indonesia, prestasi tertinggi jurnalis adalah ketika mereka memegang jabatan-jabatan struktural. Apakah sebagai kepala kantor berita, atau kepala Humas pemerintah. Karena dengan itulah bisa mempengaruhi kebijakan publik.
Podcast mengenai normalisasi bencana ini, sebetulnya podcast bertema berat dan membosankan. Selain karena waktunya panjang sampai 82 menit, temanya juga hal yang sudah membuat kita bosan, yaitu pandemi Corona.
Namun karena perbincangannya santai dan narasumber nya adalah jurnalis bencana yang sudah berkali-kali meliput bencana, maka semuanya bisa dengan ringan difahami. Terlebih penanya memang memposisikan diri untuk mencari tahu bukan ingin menunjukan kalau dia sudah tahu dengan cara bertanya. Karena itu waktu 80 menit tanpa terasa bisa dilewati dan kita mempunyai tambahan pemahaman terhadap situasi sekarang.
Mungkin hal terpenting lagi adalah ketika pandemictalk ini tidak ada kaitan politis pilpres kecuali masalah bencana. Karena seperti kata narasumber nya, buat apa mengkaitkan lagi dengan pilihan politik pilpres. Toh faktanya sekarang terbukti, bahwa pilihan politik kita itu "Pilih satu Dapat dua"
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H