Akar dari praktek jurnalistik seperti ini, sepertinya berasal dari tradisi jurnalistik di Indonesia. Di negara lain, prestasi tertinggi para jurnalis adalah ketika mereka bisa menulis buku terhadap bidang jurnalistik yang mereka tekuni. Karena para jurnalis banyak yang secara khusus menangani satu bidang. Seperti jurnalistik bencana, jurnalistik perang, jurnalistik hubungan internasional dll. Sementara di Indonesia, prestasi tertinggi jurnalis adalah ketika mereka memegang jabatan-jabatan struktural. Apakah sebagai kepala kantor berita, atau kepala Humas pemerintah. Karena dengan itulah bisa mempengaruhi kebijakan publik.
Podcast mengenai normalisasi bencana ini, sebetulnya podcast bertema berat dan membosankan. Selain karena waktunya panjang sampai 82 menit, temanya juga hal yang sudah membuat kita bosan, yaitu pandemi Corona.
Namun karena perbincangannya santai dan narasumber nya adalah jurnalis bencana yang sudah berkali-kali meliput bencana, maka semuanya bisa dengan ringan difahami. Terlebih penanya memang memposisikan diri untuk mencari tahu bukan ingin menunjukan kalau dia sudah tahu dengan cara bertanya. Karena itu waktu 80 menit tanpa terasa bisa dilewati dan kita mempunyai tambahan pemahaman terhadap situasi sekarang.
Mungkin hal terpenting lagi adalah ketika pandemictalk ini tidak ada kaitan politis pilpres kecuali masalah bencana. Karena seperti kata narasumber nya, buat apa mengkaitkan lagi dengan pilihan politik pilpres. Toh faktanya sekarang terbukti, bahwa pilihan politik kita itu "Pilih satu Dapat dua"
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H