Kebiasaan Jerman untuk berbicara fakta objektif apa adanya, mungkin sudah terbentuk sejak lama. Kita bisa melihat misalnya dari sikap dan perilaku masyarakat Jerman terhadap sejarah kelam negerinya. Meski dunia mencatat bahwa Hitler adalah pemimpin Jerman yang menyebabkan jutaan umat manusia, namun masyarakat Jerman tidak pernah menutup fakta itu. Semuanya dibicarakan secara terbuka. Ada banyak situs yang dijaga dan mesueum yang dibangun untuk mencatat Hitler sebagai seorang pemimpin Jerman. Namun hal itu tidak berarti menjadikan Jerman sebagai negeri pecundang. Jerman adalah salah satu negara terkemuka dunia. Tidak hanya dikenal dengan sistem politik dan ekonomi yang mapan, tapi juga melahirkan banyak inovator dan pemikir kelas dunia.
Tentunya perlu penelaahan lebih jauh kenapa para pengambil kebijakan di Indonesia dan sebagian masyarakat kita tidak bisa berbicara apa adanya dalam melihat sesuatu. Lebih memilih memoles satu realitas, dan menyembunyikan realitas lainnya untuk menenangkan publik. Menganggap fakta negatif akan selalu direspon secara negatif. Bukan sebaliknya.
Hanya saja bila kita review perjalanan bangsa ini, cara pandang ini terlihat jejaknya dalam perjalanan kehidupan politik.
Dibawah kepemimpinan Soeharto, pemerintahan ini memisahkan priode nya sebagai Orde Baru dan priode sebelumnya dengan Orde Lama. Namun ketika membicarakan Orde Lama, temanya selalu tidak seimbang dan tidak apa adanya. Orde Baru selalu dikaitkan dengan orde kekacauan politik dan kebangkrutan ekonomi. Namun Orde Lama sebagai sebuah masa yang berhasil membentuk landasan bernegara dan pembentukan karakter building, kerap disembunyikan.
Ketika Orde Baru dirubah dengan Orde Reformasi, hal yang sama berulang. Orang juga tidak apa adanya membicarakan Orde Baru. KKN dan pelanggaran HAM yang dilakukan Orde Baru, seperti menutupi capaian-capaian Orde Baru yang berhasil mengentaskan buta huruf, membangun infrastruktur pendidikan dan kesehata ke daerah-daerah.
Mungkin puncak dari tidak terbiasanya kita berbicara apa adanya adalah masa kampanye politik terakhir. Pemanfaatan media sosial secara massif untuk kampanye politik, membuat realitas semu berpadu dengan algoritma media sosial. Bila realitas semu membuat orang buta terhadap realitas sesungguhnya, maka algoritma sosial membuat orang hanya berkumpul dengan orang yang satu pandangan dengan dirinya. Realitas tidak sesungguhnya pun dianggap nyata karena itu menjadi pegangan banyak orang. Situasinya bertambah rumit manakala kontestasi politik sudah usai, pola komunikasi seperti ini juga yang terus dikembangkan pemerintahan terpilih beserta para penentangnya. Orang hanya mau menerima informasi dan realitas yang sesuai dan menyenangkan dirinya.
Namun berbeda dengan politik, dunia sastra kita ternyata mengajarkan sebaliknya. Perjalanan sastra kita memberikan pijakan bagi kita untuk berbicara apa adanya. Baik buruk sebuah realitas, diungkap apa adanya.
Generasi sastra Balai Pustaka yang eksistensinya berada seputaran pra dan pasca kemerdekaan, banyak menceritakan realitas negeri-negeri di Indonesia apa adanya. Bila Marah Rusli dengan roman "Siti Nurbaya", berbicara apa adanya tentang adat Minangkabau, begitu juga Merari Siregar dengan roman "Azab dan Sengsara" yang berbicara apa adanya tentang adat Batak. Keduanya mengungkap sisi negatif adat budaya kampung halamannya secara terbuka.
Kita juga akan melihat hal serupa dalam novel "Katak Hendak Jadi Lembu" karangan Nur St Iskandar. Novelist Minangkabau ini sempat ragu untuk menerbitkan novelnya. Karena novel tersebut mengkritik adat lelaki Sunda yang besar pasak daripada tiang, kesohor meski tekor. Mementingkan penampilan. Namun kekhawatiran itu disanggah tokoh masyarakat Pasundan. Menurut mereka, realitas itu memang terjadi di masyarakat Pasundan waktu itu dan novel Katak Hendak Menjadi Lembu mesti diterbitkan. Untuk menjadi pembelajaran bagi masyarakat.
Hal ini juga berlanjut pada masa Pujangga Baru. Dalam novel "Merantau ke Tanah Deli" misalnya. Buya Hamka tidak hanya berbicara apa adanya tentang sisi negatif budaya Minangkabau yang menurutnya tidak produktif dan destrutif. Tetapi lebih dari itu. Ketika terjadi konflik antara orang Jawa dan orang Minang, Hamka ulama Minang ini justru memenangkan orang Jawa.
Mungkin yang menarik adalah ketika Abdoel Moeis menulis "Robert Anak Surapati". Aktivis Serikat Islam yang namanya diabadikan menjadi salah satu Jalan di Kota Bandung ini, menceritakan tentang seorang Robert yang ber Ibu Belanda dan Bapak Jawa. Robert mengalami konflik identitas kebangsaan tentang siapakah yang mesti dia bela. Apakah Belanda tanah air Ibu nya, atau Jawa tanah air bapaknya. Pada akhirnya Robert memilih Belanda. Karena di negeri itulah dia tumbuh dan berkembang.