Mohon tunggu...
Delianur
Delianur Mohon Tunggu... Penulis - a Journey

a Journey

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jubir Orde Baru dan Orde Sekarang

1 April 2020   09:21 Diperbarui: 1 April 2020   09:24 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya mungkin termasuk orang yang masih bingung dengan fenomena berikut ini. Masih mencari sebabnya apa. Adapun bila dibawah ini ada berbagai prediksi, itu baru sangkaan saja. Kebenarannya masih perlu dicek beribu kali.

Sebagaimana kita ketahui bahwa rezim Orde Baru adalah rezim otoritarian. Salah satu cirinya adalah kontrol dan monopoli terhadap media. TVRI dan RRI yang jelas-jelas milik negara, jelas berada dalam kontrol pemerintah. Isi keduanya, mesti selaras dengan isi kepala pemerintah. Sementara media cetak, meski dia adalah institusi swasta, tetap saja tidak dikontrol pemerintah. 

Selain kuatnya negara sehingga ada budaya telepon untuk menegur pimpinan media, negara juga waktu itu memberikan subsidi kertas untuk media. Sehingga media tidak hanya tunduk secara politik, tapi juga bergantung secara ekonomi.

Namun kalau kita ingat bagaimana Orde Baru menyampaikan informasi melalui media, jubir-jubir nya selalu berbicara dengan hati-hati, tidak seenaknya sendiri, dan seperti takut salah. Saking hati-hati nya, kita sering merasa bosan dan kesal kalau mendengarkan informasi dari pemerintah.

Almarhum Moerdiono sebagai Mentri Sekretaris Negara, kalau berbicara di depan media itu pelan-pelan, terbata-bata dan monoton. Begitu juga dengan Harmoko sebagai Mentri Penerangan. 

Kalau dia berbicara di depan kamera tivi, selalu membawa catatan. Segala macam harga cabai, beras, bawang, disampaikan secara detail. Rasanya waktu saya kecil, harga petai sama jengkol saja yang tidak disampaikan Harmoko.

Mestinya kalau media sudah dalam kontrol pemerintah, mereka itu kalau mereka berbicara tidak perlu hati-hati seperti itu. Bicara saja seenaknya. Kalau salah toh tinggal dikoreksi atau medianya mereka telepon. Tetapi ternyata tidak seperti itu.

Sekarang kita berada di Orde Reformasi. Seperti yang kita ketahui, sekarang ini pemerintah sudah tidak bisa lagi mengontrol media. Media bisa mengatakan apa saja yang mereka inginkan. 

Kalaupun pemerintah mau mengkontrol media, butuh effort lebih dan harga mahal untuk melakukan. Lagipula di zaman bertautnya internet dan media sosial, kalaupun media konvensional dikontrol pemerintah, publik mempunyai sumber lain untuk mencari informasi.

Namun pada masa saluran informasi tidak bisa dikontrol oleh pemerintah serta banyaknya sumber informasi seperti sekarang ini, kita justru melihat juru bicara pemerintah seperti tidak berhati-hati bila berbicara. 

Juru bicara yang satu mengatakan bahwa virus corona itu tidak bisa hidup di negara tropis seperti Indonesia. Juru bicara yang lain mengatakan bahwa tidak ada negara di dunia yang siap menghadapi wabah corona. 

Keduanya seperti menganggap bahwa masyarakat tidak bisa mencari sumber informasi alternatif untuk memverifikasi kebenaran ucapannya. Lebih jauh dari itu, seperti tidak menganggap bahwa di era sekarang, informasi yang disampaikan tersebut bisa direkam secara digital (screenshoot), mudah ditracking, abadi serta disebarkan dengan massif.

Saya tidak tahu kenapa kenapa fenomenanya bisa seperti ini.

Anggapan sementara saya adalah karena juru bicara pemerintah kalau berbicara memang bukan untuk menyampaikan informasi, tetapi mengaburkan informasi yang sudah beredar di masyarakat. 

Karena itu tidak perlu ada validitas informasi yang harus disampaikan. Ngomong saja. Yang penting didengar orang banyak. Orang Sunda bilang, ngacapruk.

Di sisi lain, saya juga lihat ada percampuran antara komunikasi untuk menyampaikan informasi dan komunikasi sebagai instruksi. Ini misalnya terlihat ketika Presiden menyampaikan kebijakan keringanan bagi para ojol dalam membayar cicilan kredit, serta gratis dan discount dalam pembayaran listrik. 

Sebagaimana diketahui, kebijakan pertama menimbulkan kericuhan. Karena di bawah, masyarakat tidak merasakan kebijakan itu karena institusi keuangan yang dimaksud tidak bisa mengeksekusinya. 

Sementara pada kebijakan kedua, disambut dengan permintaan PLN akan munculnya peraturan pemerintah yang mengatur hal itu. Meskipun dengan penegasan bahwa mereka siap melaksanaannya.

Namun bila kita menelusuri informasi ke institusi yang berkaitan diatas, kita akan menemukan adanya dilema pada institusi yang bersangkutan. Pada satu sisi mereka kelabakan melaksanakan kebijakan Presiden karena merasa tidak ada koordinasi sebelumnya. Informasi relaksasi kredit perbankan dan discount pembayaran listrik, mereka dapatkan di media bukan dari instruksi pimpinannya. 

Karenanya mereka belum memiliki standar opersional prosedur untuk jadi pegangan di lapangan. Namun di sisi lain, pemerintah adalah owner. Apa yang disampaikan Presiden di depan media, adalah instruksi buat mereka. Pengumuman Presiden tentang relaksasi kredit perbankan serta dan keringanan pembayaran listrik, adalah pengumuman bagi masyarakat tapi instruksi bagi mereka.

Mungkin ini juga yang berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Biasanya sebelum pemerintah berbicara di depan pers, segala macam koordinasi dan komunikasi internal pemerintah sudah selesai dilakukan. 

Pada komunikasi internal inilah terjadi berbagai macam instruksi sehingga semua regulasi dan prosedur diselesaikan. Karenanya ketika pemerintah mengatakan akan memberi keringanan ini itu, maka itu adalah penyampaian informasi ke masyarakat bukan lagi instruksi ke internal pemerintah.

Namun diluar hal diatas, ada kekhawatiran melintas di kepala saya akan mentalitas jubir pemerintah ketika berbicara. Ketika Alm. Moerdiono dan Harmoko berbicara di depan media yang sudah bisa mereka kontrol.

Saya membayangkan itu karena mereka memang ingin memberikan informasi akurat yang tidak membingungkan masyarakat. Sehingga mereka berbicara sangat hati-hati sampai membuat orang yang mendengarnya sangat kesal. Karena dalam benak mereka, dihadapan mereka adalah masyarakat, bukan hanya Presiden Soeharto.

Saya khawatir bila yang ada di benak juru bicara pemerintah sekarang ketika mereka berbicara, itu bukan masyarakat, tapi Presidennya. Karenanya tidak perlu memberikan informasi valid ke masyarakat karena tujuan utamanya bukan itu. 

Yang perlu itu menunjukan bahwa dia sudah berusaha mati-matian membela keterangan dan kebijakan Presiden. Meski dengan informasi yang tidak valid dan logika amburadul. Karena makin tidak valid dan makin amburadul, makin menunjukan loyalitasnya

Semoga bukan itu.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun