Die religion... ist dast Opium des Volkes. Agama adalah opium bagi masyarakat.
Begitu kata Karl Marx. Sabda yang ditulis Marx dalam pembukaan "A Contribution to Critique of Hegel's Philosophy of Right" pada tahun 1843 ini jelas tidak hanya menjadi pegangan kaum Marxian di satu sisi, tetapi selalu menjadi sasaran tembak para agamawan. Marx disebut sebagai anti Agama dengan tesis nya ini.
Sebagai penganut Agama Kristen yang taat, sebelum beralih ke Islam dan juga mempelajari Tasawuf, Roger Garaudy jelas menentang pendapat Marx tersebut. Menurut Garaudy, ada dimensi Agama yang luput dilihat Marx ketika mengungkapkan tesis diatas. Karenanya Garaudy mempunyai banyak kritik terhadap pandangan Marx tersebut.
Namun sebagai anak dari seorang atheis dan aktivis militan Partai Komunis, Garaudy pastinya tahu betul apa yang dimaksud Marx dengan pernyataan ini. Sehingga tidak seperti para agamawan lainnya yang mengecam pernyataan Marx ini habis-habisan, Garaudy memahami kritik Marx terhadap Agama dengan statemennya itu. Garaudy seperti ingin mengatakan bahwa bila Agama dipahami dengan keliru, maka dia akan menjadi candu masyarakat.
Karenanya setelah mengkrjtik pandangan Marx tentang Agama, Garaudy lalu mengiyakan pandangan Marx diatas. Namun dengan beberapa syarat tertentu. Menurut Garaudy, Agama akan menjadi candu bila terjadi tiga kondisi. Kondisi pertama adalah ; ketika orang beragama percaya bahwa arah menuju Tuhan menghendaki untuk lari dari problema-problema kehidupan dan konflik-konflik sejarah
Secara filosofis, asal pandangan ini berasal dari aliran Platonis yang dibangun diatas dualisme konsep antara Alam Idea dan Alam nyata. Tradisi dan konsep dualisme ini kemudian menguat sampai kepada pemahaman adanya hubungan antagonistik antar keduanya. Seperti Jiwa yang merupakan manifestasi Alam Idea, adalah hal yang suci. Sementara tubuh sebagai representasi Alam nyata, adalah hal yang kotor. Menurut pandangan ini juga kemudian sesuatu yang bersifat duniawi dipandang kotor dan harus dihindari. Sementara hal yang bersifat ukhrawi adalah suci karenanya mesti didekati atau dikejar.
Implikasi lebih jauh dari pandangan ini terlihat dari sikap orang yang tidak menghargai hidup karena hidup dianggap kotor. Karena tidak menghargai hidup, lalu dia memilih mati  dengan sengaja melalui cara membunuh orang. Padahal hidup adalah anugrah. Kalau hidup itu sesuatu yang hina, kenapa Tuhan mesti mengirim manusia ke Bumi tidak langsung berkumpul di alam barzah. Bila kehidupan adalah kehinaan, lalu kenapa prasyarat untuk menghadap Tuhan adalah dengan merujuk pada capaian-capaian ketika manusia hidup.
Pandangan Garaudy terhadap Agama yang akan menjadi Candu, beberapa waktu terakhir ini seperti terlihat dari sikap orang dalam menghadapi wabah Corona.
Karena menganggap kehidupan adalah kehinaan dan kematian adalah kemuliaan, banyak orang yang menisbatkan bahwa kekhawatiran terhadap wabah Covid-19 sebagai manifestasi dari ketakutan akan mati dan kecintaan akan hidup. Wahm, konsep yang menerangkan tentang orang yang sangat mencintai hidup tapi tapi takut mati, langsung disematkan kepada orang yang mengkhawatirkan pergerakan virus corona. Kekhawatiran terhadap virus corona tidak dilihat sebagai upaya manusia untuk mempertahankan hidup yang indah dan anugrah Tuhan, namun dituding sebagai kekerdilan sikap dihadapan Tuhan.
Padahal seorang Umar bin Khattab, sahabat utama Nabi yang dikenal dengan kezuhudan dan kecerdasannya, berabad lalu mengingatkan bahwa menghindari wabah itu adalah sebuah keharusan. Menghindari wabah bukanlah ketakutan menghadapi takdir kematian yang sudah digariskan Tuhan, tapi dia adalah upaya untuk beralih dari takdir Tuhan yang satu ke takdir Tuhan yang lain. Bahkan seorang Khalid Bin Walid, Jendral perang tanpa tanding yang menginisiasi penaklukan wilayah pasca Nabi Muhammad meninggal, yang menyatakan bercita-cita untuk mati di medan perang, justru meninggal di atas kasur. Karena dalam peperangan, Khalid adalah prajurit yang bertarung mati-matian untuk mempertahankan hidup, bukan bertarung untuk mencari mati.