Mohon tunggu...
Delianur
Delianur Mohon Tunggu... Penulis - a Journey

a Journey

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kepala BPIP, dari Kampus ke Istana

15 Februari 2020   07:53 Diperbarui: 15 Februari 2020   07:49 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Karenanya tugas terbesar BPIP itu sejatinya bukan mempertanyakan kadar kepancasilaan masyarakat, tapi institusionalisasi nilai-nilai Pancasila kepada kebijakan Presiden dan program pemerintah. Seperti apakah derasnya investasi luar negeri, privatisasi sumber daya air dan sumber daya manusia, regulasi tentang kepemilikan tanah bagi WNI dan WNA itu semua sudah sesuai dengan nilai-nilai Pancasila?Lagipula bukankah kita kerap menyebut Pancasila sebagai Dasar Negara yang berarti Pancasila merupakan guidance bagi aparat negara.

Paparan diatas juga gagal memahami munculnya statemen "kontroversial" lanjutan Kepala BPIP yang menyatakan bahwa dalam bernegara, rujukannya adalah Konstitusi bukan Agama.

Secara logic (Intelektual) sebetulnya tidak ada yang aneh dengan pernyataan Kepala BPIP tersebut. Dalam sejarah Islam, Nabi sendiri menunjukan bahwa konstitusi adalah hal yang mesti dipegang teguh dalam bernegara. Ketika Nabi hijrah ke Madinah dan memulai kehidupan baru  dengan masyarakat yang lebih heteregon di Kota ini, hal yang pertama dibuat Nabi adalah menandatangani Piagam Madinah. 

Kesepakatan yang menjadi patokan kehidupan bersama semua kalangan di Madinah. Sebuah konstitusi yang bagi pakar politik berabad berikutnya disebut terlalu canggih dan modern untuk zamannya. Pemikiran yang melampui zamannya.

Karenanya secara logic (intelektual) tidak ada yang aneh dengan pernyataan tersebut. Ada rujukan keilmuan untuk menyatakan itu. Permasalahannya dalam kehidupan manusia, logic adalah satu sisi kebutuhan hidup manusia disamping etik dan estetik. Logic itu berkaitan dengan benar dan salah. 

Sementara etik dan estetik itu berkaitan dengan baik-buruk dan indah-jelek. Sebagai intelektual, mungkin patokannya adalah logic. Karena begitulah kehidupan intelektual. Bergulat dengan benar dan salah. Namun pejabat publik mestinya juga melengkapi dengan etik dan estetik. Karena masalah yang dihadapi lebih kompleks.

Tidak keliru mengatakan bahwa Konstitusi adalah patokan bernegara. Namun menjadi sebuah permasalahan ketika mengatakan bahwa Konstitusi diatas Agama dalam masyarakat yang melihat Agama sebagai variable penting dalam kehidupannya. 

Mengatakan Konstitusi diatas Agama dalam masa sentimen keagamaan sedang menaik, itu seperti menyalakan korek api di hutan yang kering kerontang di musim panas. Tidak salah mempertanyakan kadar kepancasilaan masyarakat, namun ada problem etis ketika pertanyaan itu muncul ketika publik secara vulgar melihat pelemahan pemberantasan korupsi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun