Mohon tunggu...
Delianur
Delianur Mohon Tunggu... Penulis - a Journey

a Journey

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kepala BPIP, dari Kampus ke Istana

15 Februari 2020   07:53 Diperbarui: 15 Februari 2020   07:49 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sementara Jurnal atau Makalah, meski selalu tampil dengan bahasa yang detail dan spesifik sehingga hanya bisa dipahami sebagian kalangan, orang membutuhkan waktu yang lebih singkat untuk menikmati keduanya ketimbang menikmati buku. Sementara artikel, adalah bacaan yang hanya butuh waktu singkat untuk dibaca. Artikel juga selalu mengupayakan bahasa umum yang bisa dimengerti publik meski membicarakan sebuah sub tema tertentu.

Kemewahan mendapat ruang berkomunikasi seperti ditatas, sulit dialami pejabat publik seperti Kepala BPIP. Dominan ruang berbicara yang tersedia buat seorang pejabat publik bukan lagi public lecture, seminar apalagi limited discussion, tapi dia dihadang wawancara door step wartawan. 

Pada ruang seperti ini, jawaban yang mumpuni dan jernih bukan hanya mesti ditopang oleh pengetahuan dan pemahaman terhadap pertanyaan yang diajukan, tetapi juga penguasaan kondisi. Bila hal-hal itu tidak dipenuhi, alih-alih memberikan kejelasan pada publik, maka pasti akan menimbulkan kekisruhan dan ketidak jelasan.

Pada moment wawancara door step, hitungannya bukan lagi menit apalagi jam, tapi orang hanya memiliki waktu sepersekian detik untuk memahami pertanyaan dan merumuskan jawaban yang tepat. Rumitnya, jawaban yang mesti dirumuskan dalam sepersekian detik itu, akan menjadi bacaan dan rujukan jutaan orang dengan latar belakang beragam. Hal yang tidak mudah. 

Kesalahan memberikan jawaban, akan berakibat sangat fatal. Karenanya wajar bila di Hari Pers Nasional, alih-alih mengurai peran penting media dan guidance kepada Pers dalam menjalankan perannya di era digital, Presiden justru berbicara betapa jerihnya menghadapi door step wartawan.

Mungkin medium lebih luas dari seorang pejabat publik untuk berkomunikasi dengan publik adalah sessi interview khusus dengan wartawan. Namun seperti juga diatas, orang yang menyerap ucapannya jumlahnya jutaan dengan tingkat heterogonitas yang tinggi. Masalahnya semakin kompleks manakala berhadapan dengan politik media di era digital. 

Apa yang penting menurut pembicara tapi tidak menarik secara ekonomis bagi media, tidak akan menjadi highlight atau muncul ke permukaan. Mencantumkan bahwa Agama sebagai ancaman Pancasila pastinya akan lebih meningkatkan jumlah visitors, ketimbang mencantumkan bahwa pemahaman agama yang keliru sebagai sesuatu yang berbahaya dan mengancam Pancasila

Paparan diatas tentunya adalah upaya untuk mengajak supaya lebih detail dan komprehensif lagi memahami dalam ucapan BPIP. Ketimbang mempertanyakan dan menggugat ucapan Kepala BPIP perihal Agama dan Pancasila, uraian diatas lebih berusaha untuk memahami kenapa uraian seperti itu muncul dalam sudut pandang komunikasi. Bila kemudian ada yang menganggap bahwa uraian diatas adalah pembelaan untuk Kepala BPIP, maka anggapan itu sepenuhnya mesti diterima dan tidak keliru.

Namun sejatinya paparan diatas gagal untuk memahami kontroversi lain dan lanjutan dari statemen Kepala BPIP.

Adalah sebuah pertanyaan besar manakala berkaitan dengan Pancasila, maka tema dominan adalah penghadapan Pancasila dengan masyarakat. Bukan Pancasila dengan penyelenggara negara atau Pancasila dengan politisi senayan misalnya.

Meski sama-sama bertugas menegakan nilai-nilai Pancasila, BPIP pada masa sekarang berbeda dengan BP-7 pada masa Orde Baru. Dasar pendirian BP-7 adalah SU MPR sementara pendirian BPIP adalah Keputusan Presiden. Artinya, BPIP adalah lembaga yang bertugas menopang kerja-kereja Kepresidenan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun