Pram sendiri dalam bukunya ini tidak menyebutkan jumlah gadis-gadis Indonesia yang menjadi Jugun Ianfu. Namun secara kualitatif Pram membeberkan temuan tentang nasib para perempuan korban perbudakan seks pasca Jepang kalah PD II.
Nasib paling tragis, meski dalam beberapa hal bisa dianggap sebagai "nasib baik", perempuan-perempuan itu meninggal dunia. Usai dipaksa menjadi budak seks dan menderita penyakit kelamin, mereka dibuang begitu saja oleh Jepang yang pulang ke negerinya. Nasib lainya adalah terdampar di negera lain seperti Singapura, kemudian menikah dan menetap disana. Namun mereka mengalami penderitaan Psikologis karena terputus hubungan dengan orang tua dan kampung halaman. Mereka takut pulang ke rumah karena sudah menanggung aib yang sangat besar.
Mungkin nasib lain yang tidak kalah tragis adalah banyaknya perempuan-perempuan itu yang terdampar di pedalaman kepulauan di nusantara. Mereka dinikahi oleh Kepala Suku atau lelaki dari sebuah suku yang secara tata kehidupan jauh tertinggal dari tanah kelahirannya. Akhirnya, mereka kemudian melahirkan anak yang alih-alih menaikan level kehidupan yang sudah dicapai si Ibu sebelum menjadi Jugun Ianfu, level kehidupannya justru berubah atau menurun.
Perempuan-perempuan yang menjadi korban perbudakan seks itu, sebagaimana yang diungkapkan diatas, adalah perempuan kelas menengah keatas. Mereka pada masanya secara status sosial, ekonomi juga pendidikan berada diatas rata-rata masyarakat Indonesia. Perempuan-perempuan yang bila tidak mengalami musibah menjadi Jugun Ianfu, maka dia akan menjadi Ibu bagi banyak anak-anak dan menjadi pendorong mobilitas vertikal bagi keluarganya, kaumnya, kampung halamannya bahkan negaranya.
Ketika mengingat bahwa perempuan-perempuan itu adalah manusia istimewa pada masanya yang hidupnya terdegradasi, saya teringat cerita Muhammad Roem, mantan Ketua Partai Masyumi. Konon Mr Roem pernah dihadapkan dengan pertanyaan menggelitik kenapa orang Indonesia yang peduli pada politik di masa awal adalah para dokter atau lulusan sekolah kedokteran. Ini adalah sebuah keanehan karena di Barat sendiri, yang menjadi politisi adalah lulusan Ilmu Hukum atau Ekonomi. Orang akan berhenti jadi dokter kalau dia sudah terlibat politik.
Jawabannya ternyata karena manusia istimewa Indonesia masa itu, para pemuda yang mempunyai kelebihan ekonomi dan status sosial terpandang, melanjutkan sekolahnya ke Sekolah Kedokteran, STOVIA, sebagai sekolah tinggi yang tersedia.Â
Tirto Adhi Soerjo yang dalam Tetralogi Pram digambarkan sebagai Minke yang menjadi tokoh kebangkitan nasional Indonesia perintis berdirinya surat kabar pertama di Indonesia, Medan Prijaji, dengan konsultasi Hukum sebagai rubrik unggulan, bukanlah mahasiswa Jurnalistik atau Hukum, tapi mahasiswa Kedokteran STOVIA. Tirto keluar dari sekolahnya dan mendirikan Medan Prijaji karena nelangsa melihat kondisi bangsanya.
Ada banyak Tirto lain pasca kemerdekaan yang tidak muncul karena para Ibu-Ibu istimewa pada masa itu hidupnya terdegradasi karena perbudaka seks. Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H