Mohon tunggu...
Delianur
Delianur Mohon Tunggu... Penulis - a Journey

a Journey

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Lemah Abang dan Konsep Masyarakat Ummah

28 November 2019   10:32 Diperbarui: 28 November 2019   10:33 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Lemah Abang dan Konsep Masyarakat Ummah

Selepas mempelajari sejarah hidup Nabi Muhammad serta melakukan perjalanan ke Baghdad dan beberapa negeri di Jazirah Arab tempat lahirnya Islam berbelas tahun, Datuk Abdul Jalil atau yang lebih dikenal sebagai Syek Siti Jenar kembali ke Tanah Jawa Dwipa tepatnya ke Caruban Larang, Cirebon sekarang.

Tempat dia dilahirkan dan pertama kali belajar Islam ke Syekh Datuk Kahfi di Giri Amparan Jati. Kepulangannya ke Jawa Dwipa bukan hanya karena ingin kembali dan mengabdi di tempat kelahiran, tetapi juga konon karena instruksi dari guru-guru ruhaninya untuk memperkenalkan Islam ke masyarakat di Nusa Jawa.

Dalam perjalanan kembali ke asal di abad 15 inilah kemudian Datuk Abdul Jalil menemui realitas sosial meyedihkan. Bertentangan dengan yang dia pelajari tentang Islam juga bentuk masyarakat Islam yang telah dipraktekan Nabi Muhammad.

Dari segi politik misalnya. Secara politik, penguasa-penguasa di Jawa Dwipa diatur berdasar keturunan (dinasti) bukan berdasar kemampuan (meritokrasi). Orang yang berhak menjadi Raja dan juga penguasa-penguasa di Daerah adalah para turunan raja baik anak dari Istri pertama maupun dari selir-selir raja.

Di Bumi Pasundan misalnya. Raja Kerajaan Pasundan pastinya adalah keturunan dari Raja-Raja sebelumnya. Lalu kerajaan-kerajaan yang berada dibawah naungan Kerajaan Pasundan, seperti Caruban Larang, Kuningan, Sumedang Larang, Luragung, Talaga, Limbangan, Galuh Pakuan, Sindang Barang, dikuasai oleh anak-anak Raja Pasundan.

Diantara para anak Raja itu memang ada beberapa yang mempunyai kapasitas untuk memimpin. Seperti Raja Sri Manganti yang memerintah Caruban Larang yang juga merupakan Bapak asuh Datuk Abdul Jalil. Namun banyak kerajaan yang diperintah para keturunan Raja itu tidak mempunyai kapasitas dan integritas moral untuk memimpin. Kerajaan dipimpin dengan visi jangka pendek dan semuanya diatur sesuka hati raja. Raja-raja tidak mempedulikan kehidupan masyarakat dan hanya peduli pada uang dan perempuan.

Hal politis lain yang terlihat dalam kehidupan masyarakat ketika itu adalah masalah kepemilikan tanah. Pada masa itu status tanah adalah dimiliki raja yang diberikan kepaa rakyat untuk dikelola. Karenanya rakyat mesti membayar atas pengelolaan tanah itu.

Kekuasaan Raja yang totaliter itu bertambah ketika pihak kerajaan mempunyai hak untuk mengambil apapun yang ada di tangan rakyat. Rakyat mesti rela bila Istri mereka diambil pihak kerajaan untuk dijadikan selir atau anak-anak mereka diambil untuk dijadikan budak.

Implikasinya tentu berimbas pada sisi hukum. Hukum menjadi sangat diskriminatif dan sangat politis. Penguasa tidak akan menghadapi resiko hukum manakala melanggar, sementara rakyat kebanyakan terancam berbagai macam sanksi bila mereka melanggar aturan.

Secara singkat, bila Marx dulu mengatakan bahwa masyarakat Eropa itu hanya terdiri dari dua lapisan masyarakat; borguis dan proletar, maka masyarakat Nusa Jawa ketika itu juga hanya terdiri dari dua golongan; golongan kawula dan golongan gusti. Kawula adalah masyarakat kebanyakan yang lemah secara politik, sosial dan ekonomi serta gusti adalah segelintir orang yang kuat baik secara politik, sosial dan ekonomi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun