Ratna Megawangi adalah dosen IPB peraih Doktor dari Tufts University School of Nutrition, Medford, Massachussets, AS, bidang Kebijakan Internasional Makanan dan Gizi tahun 1991. Beliau juga mengikuti pendidikan post-doktoralnya di institusi yang sama dalam bidang Keluarga, Pengasuhan Anak, Orangtua, tahun 1993.
Dengan latar belakang seperti ini, tidak aneh bila Istri dari Sofyan Djalik Ph.D, orang yang namanya hampir selalu disebut disetiap pengumuman Kabinet Mentri baik di era SBY maupum Joko Widodo, sangat concern dengan pendidikan karakter dan pendidikan anak usia dini.
Dalam tulisan pengantar untuk memahami eksplorasi Sachiko Murata tentang The Tao of Islam, Ibu Ratna mengatakan bahwa di penghujung abad-20 telah terjadi perubahan paradigma berpikir dalam melihat pola relasi gender.
Antara tahun 1960-1970 an, gerakan feminisme Barat banyak dipengaruhi filsafat eksistensialisme yang dikembangkan filosof Prancis Abad-20, Jean Paul Sartre. Bagi Sartre, manusia pada dasarnya tidak mempunyai sifat alami, fitrah atau esensi (inate nature).Â
Esensi manusia tergantung pada bagaimana ia menciptakan esensinya sendiri. Karenanya, apa yang disebut esensi manusia pada dasarnya selalu socially created atau tergantung lingkungan dimana dia berada.
Pemahaman seperti ini diterapkan oleh Simone de Beauvoir dalam bukunya The Second Sex (1949) yang mengatakan bahwa perempuan secara kultural diperlakukan sebagai makhluk sekunder (Secondary Creation) yang tugasnya mengasuh keluarga dan anaknya serta memelihara lingkungan hidup.Â
Beauvoir percaya bahwa peran tersebut bukanlah sifat alamiah perempuan. Norma-norma feminim yang melekat pada wanita seperti pengasuh, pemelihara, pasif dan penerima adalah norma yang dibentuk sistem patriarkhi untuk menindas perempuan. Karenanya Beauvoir menekankan bahwa perempuan harus bangkit melawan dan melepaskan dari norma-norma tersebut agar mereka bisa menentukan eksistensinya sendiri. Diantara caranya adalah dengan mengadakan Pendidikan Androgini.
Pendidikan androgini adalah usaha perempuan untuk melepaskan diri dari dominasi patriarkhi dan menentukan eksistensinya sendiri.
Pendidikan androgini bertujuan untuk menghilangkan perbedaan stereotip gender antara pria dan perempuan yang utamanya dilakukan bagi anak-anak usia dini. Seperti dengan memberikan mainan pistol-pistolan kepada perempuan dan mainan boneka kepada laki-laki.
Namun bagi feminis Marxis, pendidikan androgini diatas baru perubahan pada level individu saja. Untuk memerdekakan perempuan sehingga bisa menentukan eksistensinya sendiri, kelompok feminis Marxis memandang perlu adanya perubahan pada level struktur. Menghilangkan stereotip gender pada tingkat individu, tidak akan cukup kalau tidak didukung oleh perubahan struktur masyarakat. Feminisme marxisme, sosialis dan radikal misalnya.Â
Mereka menginginkan perombakan segala sistem patriarkhis/hierarchies dalam segi kehidupan sosial, kultural dan hierarchies. Ketika cikal bakal sistem patriarkhis dianggap berasal dari keluarga yang menempatkan perempuan pada posisi domestik dan pengasuhan, maka pembebasan perempuan dari peran domestik harus dilakukan demi terciptanya masyarakat tanpa kelas. Bahkan keluarga konvensional bila perlu mesti dimusnahkan karena dianggap melahirkan hierarchisme.