Mohon tunggu...
Delianur
Delianur Mohon Tunggu... Penulis - a Journey

a Journey

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membaca Kembali Pemikiran Alm. Kuntowijoyo: Dari Perlunya Mengilmui Islam sampai Tidak Perlunya Partai Islam (1)

9 Juli 2019   22:13 Diperbarui: 9 Juli 2019   22:40 761
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

ISP adalah upaya Kuntowijoyo untuk memberi paradigma Islam pada Ilmu pengetahuan. Namun hal yang mesti dicatat, ISP berbeda dengan Islamisasi Ilmu Pengetahuan yang dilontarkan Ismail Raji al-Faruqi dari International Institute of Islamic Thought di Amerika dan Naquib Al-Attas dari Malaysia.

Islamisasi Ilmu Pengetahuan adalah upaya agar umat Islam tidak begitu saja meniru metode-metode dari luar dengan mengembalikan pengetahuan pada pusatnya, yaitu Tauhid. Dari Tauhid akan muncul tiga kesatuan, yaitu kesatuan pengetahuan, kesatuan kehidupan dan kesatuan sejarah. Selama umat Islam tidak mempunyai metodologi sendiri, maka umat Islam akan selalu dalam bahaya. Islamisasi pengetahuan bermakna mengembalikan pengetahuan pada Tauhid atau konteks kepada teks.

Melalui cara pandang seperti diatas, menurut almarhum muncul pertanyaan penting mengenai kedudukan pengetahuan dalam Islam. Pengetahuan adalah kebudayaan dan kebudayaan adalah muamallah, sehingga rumusan "Semua boleh kecuali yang dilarang" berlaku untuk pengetahuan.

Hanya kalau pengetahuan sudah menjadi egoistik (secara berlebihan merujuk kepada diri sendiri) dan melampui batas-batasnya sehingga tidak lagi semata-mata pengetahuan, maka hilanglah statusnya sekedar muamallah. Karena kadang-kadang pengetahuan mengklaim sebagai kebenaran.

Biologi dengan teori evolusi sering mengaku diri sebagai kebenaran, psikologi Freud menganggap agama sebagai ilusi yang harus dimusnahkan dari peradaban, atau generalisasi Antropologi yang mengatakan bahwa semua peradaban akan menuju sekulerisme.

Menurut almarhum pengetahuan yang benar-benar objektif tidak perlu di Islamkan karena Islam mengakui objektivitas. Suatu teknologi akan sama saja baik di tangan seorang muslim maupun non-muslim. Karenanya orang harus pintar-pintar mana yang harus diislamisasi mana yang tidak. Karena metode itu dimana-mana sama. Metode survei, metode partisipan, metode grounded dapat dipakai dengan aman tanpa ada resiko bertentangan dengan Iman.

Dalam pengetahuan dan kesenian, ada rentang dari yang objective-variable sampai ke yang subjective. Rentang itu ialah Kimia, Biokimia, Biologi, Kedokteran, Psikologi, Antropologi, Sejarah, Biografi, Novel, Epik, dan Lirik. Untuk Ilmu yang benar-benar objektf kiranya sangat bergantung dari niat individu, maka niat itulah yang memerlukan Islamisasi bukan Ilmunya.

Karena itu almarhum menyarankan orang merubah pola "Islamisasi Pengetahuan", yang berpola dari konteks ke teks, menjadi "Mengilmui Islam" yang bergerak dari teks ke konteks. Hal ini dilakukan karena menurut ilmu budaya dan sosiologi pengetahuan, realitas itu pada dasarnya tidak dilihat secara langsung, tapi melalui tabir (kata, konsep, simbol, budaya, persetujuan masyarakat). Orang melihat realitas tidak seperti anjing melihat tulang; animal's faith tidak pernah terjadi pada manusia.

Orang Jawa dulu melihat raja melalui simbol-simbol; mitos Nyi Loro Kidul, upacara labuhan, sastra Babad Tanah Jawa (raja adalah keturunan para nabi dan dewa), tata cara sembah, warna payung, dan larangan-larangan. Orang Amerika dulu melihat Soviet melalui simbol: film tentang KGB dan "Tentara merah", konsep "Tirai besi" dan "Anti merdeka" Aparat pemerintah Soekarno melihat orang Masyumi, PSI, dan Murba melalui konsep "Kontra-Revolusi". Orde Baru melihat orang yang mengkritik kebijakannya melalui konsep "Anti Pancasila" dan melihat orang Islam sebagai "ekstrem kanan"

Hal ini juga mesti dilakukan karena ilmu-ilmu sekular pada dasarnya tidak objektif seperti yang didaku. Pengilmuan Agama dimaksudkan supaya sifat subjektif Agama berubah jadi sifat objektif ilmu. Norma agama (seperti berbohong itu tidak boleh) akan menjadi pagar objektivitas

Selain itu, alasan mengembangkan gagasan mengenai niscanya perumusan teori -- dalam hal ini teori sosial -- yang didasarkan kepada Al-Quran, adalah bahwa kita perlu memahami Al-Quran sebagai paradigma. Apa yang dimaksud dengan "Paradigma" adalah seperti yang dipahami oleh Thomas Kuhn bahwa pada dasarnya realitas sosial itu dikonstruksi oleh Mode of Though atau Mode of Inquiry tertentu, yang pada gilirannya akan menghasilkan Mode of Knowing tertentu pula. Seperti Immanuel Kant yang menganggap "Cara mengetahui" sebagai "Skema konseptual" atau Marx menamakannya sebagai "Ideologi" dan Wittgenstein yang menyebutnya sebagai "Cagar bahasa"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun