Di beberapa WAG dan timeline media sosial, saya mendapat informasi bahwa akan ada perubahan jadwal pembacaan keputusan MK perihal sidang sengketa Pilpres. Perubahan dari tanggal berapa ke tanggal berapa, tidak saya perhatikan. Alasan perubahan serta pro kontra terhadap rencana itu, juga tidak saya baca. Karena seperti yang sudah bisa ditebak, pendapatnya akan disesuaikan dengan preferensi politik. Tidak jauh berbeda ketika terjadi kerusuhan di Jakarta bulan lalu. "Ekspresi kemanusiaan dan kepeduliannya", disesuaikan dengan pilihan politik.
Secara personal, tidak perlunya memperhatikan sidang MK itu dikarenakan bahwa arah putusan MK sudah bisa ditebak kemana. Hasil akhir putusan MK tidak akan memenangkan penggugat. Apapun dinamika yang terjadi di MK, hasil akhir sidang MK tidak akan jauh berbeda dengan keputusan KPU tentang siapa yang unggul dalam Pilpres kemarin.
Faktornya pasti banyak. Tidak akan mono causal tapi multi causal. Bisa jadi karena saksi kurang kredible, barang bukti tidak layak, argumentasi tim hukum yang lemah, sistem pemilu, sistem pembuktian hukum yang menuntut tingkat kuantifikasi yang sangat tinggi, pandangan hukum atau kecenderungan Hakim MK dan lain-lain. Faktor-faktor diatas bisa saja dikategorikan sebagai pemicu, sebab, latar, konteks dan lain sebagainya. Terserah masing-masing orang meyakininya.
Hanya bagi saya secara pribadi, ada problem besar yang berpengaruh terhadap hasil sidang MK yaitu perkara etika politik. Etika politik di negara kita ini masih rendah. Banyak pemakluman yang tidak hanya dilakukan untuk mengukuhkan kekuasaan, tapi menghindari perubahan radikal.
Diantara contoh gamblangnya bisa kita buat dengan melakukan perbandingan dengan negara lain. Di Amerika misalnya, Nixon mundur dari jabatan Presiden priode ke-2 karena skandal watergate. Skandal politik yang dimulai dengan tertangkapnya lima laki-laki yang berusaha mendobrak kantor Partai Demokrat untuk memasang alat penyadap. Pengadilan dan investigasi media membuktikan bahwa insiden itu dilakukan timses Nixon dalam rangka mensukseskan Nixon untuk menjadi Presiden Priode ke-2. Film All The President's Men dan Mark Felt bisa menjadi gambaran keterlibatan Dinas Intelijen Amerika dalam memenangkan Nixon.
Sementara itu di Indonesia, publik dengan sangat telanjang melihat kepolisian bergerak aktif mendukung incumbent. Orang bukan hanya menganggap ini bukan sebuah masalah, malah masih bertanya bukti kecurangan pemilu dimana. Dan itu bukan masalah calon petahana semata namun masalah banyak orang yang melegitimasi. Karena di sekeliling petahana, ada pemuka agama yang rajin menjelaskan panduan agama, pembela Pancasila yang mengungkap pentingnya nilai-nilai Pancasila untuk panduan hidup bernegara dan ada juga pemuka militer yang sering mengumbar diksi patriotisme.
Saya berpikir, Bambang Wijoyanto dkk mesti berpikirnya lebih jauh dari saya. Tim hukum yang diisi praktisi hukum, pakar hukum dan juga orang-orang yang tahu dan terlibat dalam politik praktis, mesti sudah tahu bahwa kekalahan itu sudah di depan mata.Â
Namun gugatan itu mesti dilakukan karena masalahnya bukan hanya perkara menang dan kalah, tapi edukasi publik tentang bagaimana dinamika politik dan hukum kita.Â
Pada titik inilah saya mengapresiasi Bambang cs meski saya sadar dia juga banyak diolok-olok orang. Karena dengan sidang MK itu sendiri secara tidak langsung sudah memberi tahu publik bagaimana sebetulnya dinamika pemilu kita.
Point penting dari kesaksian seorang Anas, bukan dia sedang menunjukan kecurangan tim Jokowi, tapi seperti itulah politik praktis yang sedang terjadi di tengah kita.Â
Kesaksian penting pakar IT bukan pada adanya legitimasi dan delegitimasi terhadap pemenang pemilu, tapi kita jadi tahu ada permasalahan serius dalam teknis pelaksanaan pemilu kita. Intervensi teknologi untuk memanipulasi hasil, adalah sesuatu yang sangat mungkin dilakukan siapa saja.Â
Dulu orang tahu nya bahwa keburukan pemilu di kita itu hanya sebatas tentang caleg yang suka mengumbar janji atau serangan fajar untuk membeli suara.Â
Sekarang orang tahu, bahwa kecurangan pemilu itu dilakukan banyak pihak bukan hanya caleg. Mulai dari polster, penyelenggara pemilu, Â sampai dengan aparat negara semuanya terlibat mengeruhkan suasana.
Karenanya, hasil penting dari sidang MK itu bukan tentang siapa yang menang dan yang kalah karena itu sudah terprediksi. Tetapi apa yang akan dilakukan dengan pemilu kita setelah sidang MK itu selesai. Perbaikan-perbaikan seperti apa yang akan dilakukan untuk membuat pemilu di Indonesia lebih kredible.Â
Apakah pemilu mendatang aparat kepolisian masih boleh memihak, bagaimana caranya supaya kas BUMN tidak ikutan terkuras demi politik praktis, apa yang harus dilakukan supaya tidak ada lagi pencurian suara, bagaimana caranya supaya agama tidak terus menerus di eksploitasi, apa rencana para pimpinan ormas keagamaan untuk mengantisipasi tidak terjadinya politisasi agama, dan lain sebagainya. Kalau hal diatas tidak dibenahi, jangan mengeluh kalau hasil pemilu berikutnya adalah anggota parlemen yang tidak kredibel. Â Â
Fernand Braudel, sejarawan Prancis, pernah membagi sejarah ke dalam tiga kategori, yaitu sejarah jangka pendek yang menekankan peristiwa jangka pendek (I'histoire evenementielle), seperti politik, sejarah jangka menengah yang menekankan struktur (I'histoire structurelle) seperti perubahan budaya, sosial, dan ekonomi dan sejarah jangka panjang (I'histoire longuee duree) yang menekankan pola seperti pola geografis dan teknologis.
Sidang MK pastinya bukan sejarah jangka panjang, tetapi kita tidak ingin menjadikan sidang MK sebagai peristiwa jangka pendek (politik). Sidang MK mestinya dijadikan sebagai peristiwa jangka menengah.Â
Karenanya yang harus dilakukan adalah menguatkan sensitivitas struktur bukan sensitivitas politik. Karena kita tidak akan pernah maju kalau terus menerus membicarakan orang (Jokowi dan Prabowo) dan tidak mau berubah dengan membicarakan ide. Memperkuat sensitivitas politik, hanya melahirkan gosip politik tentang Jokowi dan Prabowo.
 Kalau pembicaraannya masih berkutat tentang Jokowi dan Prabowo, mestinya kita sudah tertipu oleh keduanya ketika ada berita bahwa mereka akan berkoalisi
Just my two cents
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H