Dia lahir untuk menopang perkembangan kapitalisme Amerika dan upaya Amerika untuk menyebar gagasannya ke seluruh dunia. Bila pemikiran Eropa disebut kritis, maka pemikiran Amerika disebut pragmatis. Â
Dalam praktiknya, kedua perspektif ini bisa dilihat perbedaannya ketika melihat setiap fenomena komunikasi. Memakai perspektif pragmatism, bila sebuah media memberitakan kenaikan harga BBM, maka yang akan dilihat adalah hal-hal berkaitan dengan durasi pemberitaan, timing pemberitaan, jumlah kata mendukung/menolak, pilihan diksi, presenter yang tampil, intonasi presenter dan lain sebagainya.Â
Karena hal-hal itu dianggap menunjang efektivitas dan efisiensi sebuah pemberitaan atau hal yang mempengaruhi kesuksesan sebuah pesan yang disampaikan pada publik.
Hal berbeda bila memakai perspektif Marx. Ketika sebuah media memberitakan kenaikan harga BBM, maka hal yang akan dilihat adalah tendensi dari berita tersebut. Mendukung kenaikan kah, atau tidak.Â
Tidak cukup sampai disitu, kepemilikan, oplah atau afiliasi politik dari media tersebut pun ditelusuri. Di akhir bisa diketahui, bahwa berita tersebut pada dasarnya berkaitan erat dengan afiliasi politik pemilik atau kepentingan ekonomi media.Â
Banyak penelitian banyak ditemukan bahwa tampilnya berita-berita yang mendukung pemerintah atau swasta di suatu media, sering berkaitan berkaitan dengan besarnya iklan yang datang dari pemerintah atau swasta atau kepentingan politik.
Melalui cara kritis itu jugalah kemudian Alm Kuntowijoyo Ph.D, sejarawan dan budayawan, melihat budaya Keraton Jawa pada masa dahulu. Ketika membahas Serat Cebolek, sebagai upaya mencari asal usul ketegangan antara Islam dan Birokrasi, dan membahas Strategi Kebudayaan dalam buku lawasnya yang berjudul "Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi" Alm mengatakan bahwa budaya Indonesia itu pernah mengalami dualisme budaya, yaitu antara budaya keraton dan budaya populer.
Budaya Istana atau Budaya Keraton, dikembangkan oleh para abdi-dalem atau pegawai istana mulai dari pujangga sampai arsitek. Raja ketika itu berkepentingan menciptakan simbol-simbol budaya tertentu untuk melestarikan kekuasaannya.Â
Biasanya bentuk-bentuk kebudayaan yang diciptakan untuk kepentingan itu berupa mitos yang dihimpun dalam babad, hikayat, lontara. Hampir semuanya bentuk-bentuk sastra semacam itu berisi cerita ajaib tentang kesaktian raja, kesucian atau kualitas supra-insani raja. Menurut alm, tujuan dari penciptaan simbol-simbol mitologis kerajaan tersebut adalah agar rakyat loyal kepada kekuasaan raja.
Dalam rangka menciptakan mitologi dan mistisisme itulah Keraton kerap menciptakan cerita yang naif dan kadang kontradiktif. Seperti ketika dalam rangka melegitimasi kekuasaan mutalaknya, raja menciptakan semacam silsilah genealogis bahwa dia adalah keturunan Dewa.Â
Anehnya, pada saat yang bersamaan dia juga mengklaim sebagai keturunan Nabi Muhammad melalui pengenalan istilah nur-roso dan nur-cahyo sebagai akar genealogis teratasnya.Â