Mohon tunggu...
Delianur
Delianur Mohon Tunggu... Penulis - a Journey

a Journey

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perang Uhud dan Poligami

18 Desember 2018   19:15 Diperbarui: 18 Desember 2018   19:34 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam sejarah Islam, bersama dengan Perang Badar, Khandak atau Fathul Makkah, Perang Uhud selalu disebut-sebut dan merupakan diantara sejarah penting peperangan masa Nabi. Bukit Uhud pun sampai sekarang masih sering dikunjungi kaum muslim sedunia demi mengenang peristiwa penting tersebut.

Dalam Perang Uhud sendiri kaum muslimin pimpinan Nabi kalah. 1000 pasukan dari Madinah tidak mampu menghadapi 3000 pasukan Makkah pimpinan Abu Sufyan. Hal yang membuat kaum muslim tidak terlalu dalam terpuruk di Uhud adalah masalah komunikasi.

Waktu itu Nabi terjatuh dari kuda nya dan pingsan. Karena euforia, pasukan Makkah menganggap Nabi sudah meninggal dan merasa kemenangan sudah di raih. Karena isyu Nabi sudah meninggal inilah pasukan muslimin pun mundur mencari perlindungan. Lalu musuh mereka bersorak sorai sambil bergerak mundur kembali ke Mekkah.

Nabi sendiri ketika siuman dari pingsan, sadar apa yang terjadi dengan pasukannya. Dengan sigap Nabi mengkonsolidasikan kembali pasukan yang sudah bercerai berai dan jatuh mentalnya. Nabi lalu mengambil langkah taktis. Memerintahkan beberapa kelompok pasukan mengikuti kepergian pasukan Makkah dari belakang. Mereka harus berpencar berjauhan sambil membakar api.

Nabi bermaksud memantau pergerakan musuh dan menghalangi mereka menyerbu Madinah. Bila ini terjadi, kota Madinah bisa hancur lebur dengan kekuatan besar mereka. Siasat Nabi berhasil. Karena di tengah perjalanan, pasukan Mekkah baru sadar kalau Muhammad masih hidup.

Ketika mereka berbalik bermaksud mengejar Nabi dan pasukannya, mereka terkejut melihat banyaknya api besar yang tersebar di beberapa titik bergerak maju menuju mereka. Pasukan Makkah menganggap bala bantuan dari Madinah dalam jumlah besar sudah datang untuk membalas. Padahal itu bukan bala bantuan dari Madinah.

Berkaitan dengan Perang Uhud ini, orang sendiri lebih banyak mengaitkannya dengan peristiwa-peristiwa besar atau tokoh fenomenal. Seperti cerita Hindun yang memakan hati Hamzah, Paman Nabi, saking dendamnya. Atau tentang Khalid Bin Walid. Panglima pasukan berkuda Mekkah yang menjadi aktor penting kemenangan pasukan Mekkah.

Khalid Bin Walid di kemudian hari masuk Islam dan menjadi Jendral utama pasukan muslimin kepercayaan Khalifah Umar Bin Khattab. Khalid selalu mengungkapkan obsesinya untuk syahid dalam setiap peperangan yang dia pimpin. Tetapi Khalid justru meninggal di atas kasur.

Hal-hal itulah yang sering dikaitkan dengan Perang Uhud. Padahal ada hal penting lain usai Perang Uhud yang terus menerus menjadi pembahasan sensitif hingga saat ini, yaitu tentang poligami. Kenapa Perang Uhud berkaitan dengan Poligami?

Dalam Perang Uhud tercatat 22 pasukan Makkah dan 65 pasukan muslimin yang meninggal. Jumlah 65 pasukan muslim yang meninggal itulah yang menjadi problem sosial yang harus di selesaikan Nabi usai kembali ke Madinah. 65 orang yang meninggal itu bukan hanya meninggalkan perempuan-perempuan yang menjadi janda, tetapi juga anak-anak perempuan dan saudara perempuan yang membutuhkan perlindungan.

Arab abad ke-7 adalah masyarakat kesukuan atau patron klien. Klan adalah pelindung utama dimana rajanya adalah lelaki. Orang tanpa memiliki klan yang jelas atau klannya yang lemah secara politis, dia bisa tergeletak mati di tengah jalan begitu saja tanpa ada kejelasan hukum bagi pelakunya. Orang sebagai pelindung menjadi sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan orang Arab.

Spesifik dalam konteks seorang perempuan, masa itu perempuan adalah subordinat dan tidak berharga. Orang terbiasa membunuh bayi perempuan karena dianggap tidak berharga dan tidak memiliki masa depan. Apalagi budak perempuan. Mereka adalah spesies paling tidak berharga.

Perempuan dalam masa Pra-Islam memiliki posisi yang sangat sulit. Banyak lelaki yang mengaku sebagai pelindung, tetapi hanya untuk memanfaatkan harta benda nya. Sementara perempuan dan anak-anak nya tidak mereka perdulikan.

Selain itu perkawinan pra-Islam dalam masyarakat Arab sangat lah merugikan perempuan. Seperti pada sistem mahar. Masa Pra-Islam mahar diberikan pada perempuan yang kemudian dikuasai saudara laki-lakinya. Bila terjadi perceraian, maka mahar itu bisa diminta kembali. Nabi merubah kondisi ini. Nabi menetapkan mahar diberikan pada perempuan dan dia berkuasa penuh atas mahar tersebut. Perempuan bebas untuk apa mahar itu digunakan. Bila terjadi perceraian, laki-laki tidak berhak meminta kembali mahar nya.

Laki-laki pun pada masa itu tidak mempunyai batasan dalam berpoligami. Mereka bisa berpoligami dengan 10 perempuan, bahkan lebih. Karenanya poligami dengan batas maksimal empat orang, pada dasarnya sebuah pembatasan bukan keleluasaan.

Usai Perang Uhud yang menyisakan problem dan kondisi sosial budaya seperti itulah kemudian ayat tentang poligami turun. Tuhan memberikan solusi dari problem sosial saat itu. Karenanya Poligami itu pada dasarnya proses legislasi sosial, bukan legislasi seks.

Bisa kita simak kembali struktur terbesar ayat yang membolehkan poligami, maka kita akan menemukan kalau tema utamanya justru bukanlah poligami, tetapi masalah hak-hak anak yatim dan orang miskin yang butuh perlindungan. Bukan poligami atau saluran libido seks.

Kata Quran : "Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh) harga mereka, jangan menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu memakan harga mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar. Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah perempuan-perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya" (Surat 4: 2-3)

Barat sendiri menurut Karen Armstrong tidak adil dalam melihat perspektif Islam terhadap perempuan. Film Hareem yang terkenal itu, menurutnya hanya eksploitasi ilusi liar barat tentang syaikh-syaikh Islam. Bukan fakta yang sesungguhnya. Buktinya usai Uhud, justru problem sosial inilah yang menjadi concern dan tidak ada pembangunan Harem.

Armstrong juga mengingatkan kekeliruan Barat, dan orang Islam tentunya, dalam melihat kesamaan hak. Menurut Armstrong di abad ke-20 Barat menganggap Islam sebagai problem dalam isu penyamaan Hak. Karena dalam hal waris, Islam mengatakan kalau Perempuan hanya mendapat setengah dari bagian lelaki. Begitu juga dalam hal kesaksian hukum. Kesaksian perempuan hanya dianggap setengah kesaksian laki-laki. Dalam Islam, dua orang lelaki sudah cukup untuk menjadi saksi. Tetapi dibutuhkan empat perempuan supaya kesaksiannya dianggap sah.

Menurut Armstrong mereka keliru besar. Dalam abad ke-7 ketika perempuan sama sekali tidak punya hak, maka ini adalah ide revolusioner. Perempuan yang tertindas dan tidak punya hak, tiba-tiba mendapat hak waris dan kesaksiannya diakui. Terkandung upaya revolusioner demi penyamaan hak. Eropa Kristen saja menurut Armstrong, mesti menunggu abad ke-19 untuk sampai pada upaya penyamaan hak. Itupun masih dominan berpihak pada laki-laki.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun