Mohon tunggu...
Delianur
Delianur Mohon Tunggu... Penulis - a Journey

a Journey

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perang Uhud dan Poligami

18 Desember 2018   19:15 Diperbarui: 18 Desember 2018   19:34 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Spesifik dalam konteks seorang perempuan, masa itu perempuan adalah subordinat dan tidak berharga. Orang terbiasa membunuh bayi perempuan karena dianggap tidak berharga dan tidak memiliki masa depan. Apalagi budak perempuan. Mereka adalah spesies paling tidak berharga.

Perempuan dalam masa Pra-Islam memiliki posisi yang sangat sulit. Banyak lelaki yang mengaku sebagai pelindung, tetapi hanya untuk memanfaatkan harta benda nya. Sementara perempuan dan anak-anak nya tidak mereka perdulikan.

Selain itu perkawinan pra-Islam dalam masyarakat Arab sangat lah merugikan perempuan. Seperti pada sistem mahar. Masa Pra-Islam mahar diberikan pada perempuan yang kemudian dikuasai saudara laki-lakinya. Bila terjadi perceraian, maka mahar itu bisa diminta kembali. Nabi merubah kondisi ini. Nabi menetapkan mahar diberikan pada perempuan dan dia berkuasa penuh atas mahar tersebut. Perempuan bebas untuk apa mahar itu digunakan. Bila terjadi perceraian, laki-laki tidak berhak meminta kembali mahar nya.

Laki-laki pun pada masa itu tidak mempunyai batasan dalam berpoligami. Mereka bisa berpoligami dengan 10 perempuan, bahkan lebih. Karenanya poligami dengan batas maksimal empat orang, pada dasarnya sebuah pembatasan bukan keleluasaan.

Usai Perang Uhud yang menyisakan problem dan kondisi sosial budaya seperti itulah kemudian ayat tentang poligami turun. Tuhan memberikan solusi dari problem sosial saat itu. Karenanya Poligami itu pada dasarnya proses legislasi sosial, bukan legislasi seks.

Bisa kita simak kembali struktur terbesar ayat yang membolehkan poligami, maka kita akan menemukan kalau tema utamanya justru bukanlah poligami, tetapi masalah hak-hak anak yatim dan orang miskin yang butuh perlindungan. Bukan poligami atau saluran libido seks.

Kata Quran : "Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh) harga mereka, jangan menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu memakan harga mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar. Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah perempuan-perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya" (Surat 4: 2-3)

Barat sendiri menurut Karen Armstrong tidak adil dalam melihat perspektif Islam terhadap perempuan. Film Hareem yang terkenal itu, menurutnya hanya eksploitasi ilusi liar barat tentang syaikh-syaikh Islam. Bukan fakta yang sesungguhnya. Buktinya usai Uhud, justru problem sosial inilah yang menjadi concern dan tidak ada pembangunan Harem.

Armstrong juga mengingatkan kekeliruan Barat, dan orang Islam tentunya, dalam melihat kesamaan hak. Menurut Armstrong di abad ke-20 Barat menganggap Islam sebagai problem dalam isu penyamaan Hak. Karena dalam hal waris, Islam mengatakan kalau Perempuan hanya mendapat setengah dari bagian lelaki. Begitu juga dalam hal kesaksian hukum. Kesaksian perempuan hanya dianggap setengah kesaksian laki-laki. Dalam Islam, dua orang lelaki sudah cukup untuk menjadi saksi. Tetapi dibutuhkan empat perempuan supaya kesaksiannya dianggap sah.

Menurut Armstrong mereka keliru besar. Dalam abad ke-7 ketika perempuan sama sekali tidak punya hak, maka ini adalah ide revolusioner. Perempuan yang tertindas dan tidak punya hak, tiba-tiba mendapat hak waris dan kesaksiannya diakui. Terkandung upaya revolusioner demi penyamaan hak. Eropa Kristen saja menurut Armstrong, mesti menunggu abad ke-19 untuk sampai pada upaya penyamaan hak. Itupun masih dominan berpihak pada laki-laki.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun