Mohon tunggu...
Delianur
Delianur Mohon Tunggu... Penulis - a Journey

a Journey

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

"Whistle Blower", Film Jurnalistik Investigatif ala Korea

1 Maret 2018   07:14 Diperbarui: 1 Maret 2018   20:47 1771
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membaca judulnya, semula saya pikir ini film tentang justice collaborator. Seorang yang membocorkan kejahatan kepada penegak hukum. Tetapi ternyata bukan.

Whistle blower diangkat dari "kisah nyata" upaya Jurnalis TV di Korea Selatan yang mengasuh acara khusus investigatif yang berhasil mengungkap kebohongan seorang public figure. (Kalimat kisah nyata mesti kita berikan tanda petik. Penjelasannya bagaimana, akan kita bahas di akhir).

Adalah Prof. Lee, pakar kedokteran hewan, yang bersama-sama kolega-koleganya para dokter yang mengumumkan bahwa mereka berhasil mempertemukan sel telur dengan sel induk buatan. 

Temuan ini tidak hanya dianggap revolusioner, tetapi juga memberikan harapan kepada dunia medis dan juga pada banyak pasien yang sangat membutuhkan. Prof. Lee dan timnya pun tidak hanya dikenal oleh masyarakat Korea Selatan tetapi juga menjadi ikon dan harapan baru bangsa Korea. Padahal secara medis tidak mungkin orang bisa membuat sel induk.

Tetapi kebohongan Lee terbongkar. Ketua tim riset merasa tidak nyaman dengan kebohongan Lee, lalu keluar dari tim dan membocorkan kebohongan ini kepada media. Sayangnya sang whistle blower tidak bisa memberikan bukti kebohongan Prof Lee.

Tetapi karena media merasa yakin kebenaran narasumbernya, jurnalisnya pun melakukan investigasi. Di antara hal yang meyakinkan media adalah komposisi tim penelitinya itu sendiri. Ternyata dalam tim peneliti lebih banyak diisi crew public relation, ketimbang para pakar.

Upaya jurnalis Korea Selatan melakukan investigasi, ketakutan para narsumber, serangan balik Prof. Lee dan timnya, tuntutan editorial, tekanan pemilik media juga upaya untuk bisa menyiarkan naskah yang sudah jadi, itulah yang dideskripsikan dengan baik dalam film Whistle blower.

Ketika menonton film ini, secara otomatis kita akan ingat film serupa dari Amerika: All The President Men. Tentang liputan investigatif Washington Post mengungkap konspirasi Gedung Putih masa Richard Nixon yang melakukan tindakan spionase ke kantor Partai Demokrat dalam rangka memuluskan Nixon menjadi Presiden Amerika kedua kalinya. Investigasi Post, yang kemudian dikenal dengan skandal Watergate ini, tidak hanya berhasil menyeret banyak pejabat Gedung Putih, tetapi juga membuat Nixon mengundurkan diri.

Dengan asumsi apa yang digambarkan kedua film di atas itu tidak jauh berbeda dengan kenyataan, maka dari film ini juga tergambar perbedaan media di Amerika dan di Korea Selatan.

All The President Men menggambarkan upaya keras Woodward dan Bernstein, duo jurnalis Post yang meliput Watergate, yang harus memenuhi standar penulisan yang diterapkan Post. Film ini juga menggambarkan bagaimana upaya Gedung Putih untuk menyangkal dan mengawasi gerak-gerik reporter Post sampai harus menyadap teleponnya.

Berbeda dengan All The President Men, film Whistle Blower tidak hanya mengungkapkan tuntutan standar pemberitaan yang diterapkan TV Korea Selatan, serangan balik dari Prof Lee tetapi juga tekanan pemilik media yang takut ditinggal para pengiklan serta tekanan publik yang sudah begitu fanatik terhadap Lee.

Pemilik media bukan hanya menekan wartawannya untuk menghentikan investigasinya, tetapi juga tidak ingin menayangkan naskah jadi siaran tersebut. Pemilik media tidak berani melawan arus pemberitaan media yang sangat membela Prof. Lee. Lebih dari itu, pemilik media juga tidak berani melawan opini publik yang membela Prof Lee yang hampir dianggap sebagai messiah bagi bangsa korea.

Mungkin dinamika ini juga yang menjadi pembeda antara media di Amerika dan Korea Selatan dalam praktiknya. Tidak seperti di Amerika, media di Korea tidak hanya menghadapi tekanan penguasa tetapi juga menghadapi sentimen publik. 

Populisme adalah hal lain yang harus dihadapi media di Korea. Bila Korea Selatan kita anggap sebagai representasi Asia, maka dalam banyak hal apa yang dihadapi media Korea juga dihadapi media di negara Asia lainnya seperti Indonesia.

Pada masa Presiden Habibie atau Gus Dur berkuasa, media yang kritis mesti juga berhadapan dengan populisme Habibie atau Gus Dur. Meski Presiden Gus Dur sudah mengingatkan pendukungnya untuk tidak berlaku anarkis terhadap media yang mengkritiknya, tetapi insiden Jawa Pos yang digreduk masa pendukung alm Presiden Gus Dur, karena dianggap telah mengkritik Gus Dur terlalu berlebihan, tentunya masih bisa kita ingat.

Tekanan pemilik modal memang tidak terlihat dalam film All The President Men. Hal ini mungkin disebabkan karena media di Amerika sudah begitu segmented. Sebagaimana diketahui, Washington Post dikenal sebagai korannya orang Demokrat, New York Times korannya orang Republik dan Nixon Presiden dari Republik. Sementara di Amerika hanya ada dua partai: Demokrat dan Republik.

Karena sudah sedemikian segmented, maka Washington Post tidak merasa khawatir akan kehilangan pengiklan karena mengkritisi Nixon. Bahkan mungkin akan makin banyak pengiklan karena tidak setuju kepada Nixon.

Hal menarik lain dari kedua film ini adalah; identifikasi identitas. All The President Men menyatakan dengan jelas bila film ini adaptasi dari buku All The President Men yang ditulis Woodward dan Bernstein ketika mereka melakukan investigasi kasus Watergate. Tidak menutupi nama jurnalis yang terlibat, para editor, nama koran Washington Post, dan tidak menyamarkan nama Presiden Nixon dan pejabat sekitarnya.

Berbeda dengan Whistle Blower. Film ini perlu mengatakan bahwa film ini "terinspirasi dari kisah nyata", menyebut NBS sebagai nama stasiun TV, padahal tidak ada nama statsiun TV seperti itu di Korea, juga menukar nama pelakunya menjadi Prof. Lee.

Apa yang dilakukan Whistle Blower ini seperti menegaskan prinsip komunikasi orang Asia tentang penghormatan dan rasa malu. Mengganti nama pelaku menjadi Prof. Lee seolah untuk mengingatkan pentingnya tidak terus menerus mempermalukan sang pelaku.

Berbeda dengan All The President Men yang mengungkap fakta apa adanya. Hal itu dianggap bukan mempermalukan, tetapi upaya kritis mengungkap fakta. Meski dalam sudut pandang yang berbeda. Konon itulah di antara perbedaan komunikasi antara Asia dan Amerika.

Tetapi film ini sempat menyelipkan pesan penting yang mesti diingat banyak orang. Dalam kesendiriannya, Prof. Lee berbicara kepada diri sendiri bahwa kesulitan yang menimpanya, itu disebabkan karena dia tidak bisa berhenti atau menahan diri. Dia sudah meraih satu prestasi dan di apresiasi publik. Tetapi karena ingin mendapat apresiasi lagi dan lagi, dia lalu melangkah merekayasa sebuah prestasi yang tidak mungkin hanya demi mendapatkan apresiasi lebih.

Benar kata orang, bahwa keserakahan lah yang selalu membawa orang kepada kesulitan dan membuat kehidupan menjadi kacau. Rumus umum tentang kebutuhan dan keserakahan seolah tergambar pada diri Prof Lee. Bahwa segala yang ada di dunia ini, pada dasarnya bisa memenuhi segala kebutuhan manusia. Tetapi seluruh yang ada di dunia ini, tidak bisa memenuhi keserakahan manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun